Senin, 05 Juli 2010

Dilema Peninjauan Kembali oleh Jaksa

Friday, 14 May 2010 09:08

Diterimannya permohonan PK yang diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung memang bukan pertama kalinya terjadi. Kasus pertama dimana PK oleh Jaksa diterima oleh MA yaitu dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Pada kasus tersebut kebetulan yang menjadi ketua Majelis PK juga merupakan Ketua MA pada saat itu, yaitu Soerjono. Pada masa itu reaksi masyarakat cukup keras menolak keputusan MA tersebut. Dua argumentasi pokok yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak kewenangan PK oleh Jaksa, pertama karena dalam Pasal 263 KUHAP secara tegas dinyatakan bahwa yang berhak mengajukan PK adalah Terdakwa atau ahli warisnya. Kedua, pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Dalam kasus Muchtar Pakpahan tersebut sebelumnya Mahkamah Agung telah membebaskan Mucthar Pakpahan, sehingga tidak mungkin PK dapat diajukan oleh Jaksa, karena putusannya pun pada akhirnya tidak boleh melebihi putusan bebas.

Sebelum putusan PK dalam kasus Pollycarpus ini diajukan oleh Jaksa, dapat dikatakan mayoritas ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana dan acara pidana memandang bahwa putusan MA dalam kasus Mochtar Pakpahan merupakan suatu "kesalahan sejarah" yang tidak perlu terjadi lagi, atau dengan kata lain putusan MA yang tidak perlu dijadikan yurisprudensi. Pasca putusan Kasasi yang membebaskan Akbar Tandjung pada tahun 2004 misalnya, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut suka atau tidak suka harus diterima, karena PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan milik kejaksaan. Hal ini dikatakannya dalam menanggapi usulan masyarakat agar Kejaksaan mengajukan PK atas putusan kasasi tersebut.

Namun kondisi seakan berbalik ketika MA dalam putusan Kasasinya menyatakan Polly tidak terbukti melalukan pembunuhan atas Aktivis HAM Munir, dorongan agar Jaksa mengajukan PK justru muncul dari para aktivis HAM. Seakan para aktivis ini yang dulunya dalam kasus Muchtar Pakpahan menolak mentah-mentah dibolehkannya Jaksa mengajukan PK berbalik arah menjadi mendukung kewenangan PK oleh Jaksa. Putusan yang dulu dibencinya kini dijadikan sumber hukum, di dorong untuk menjadi yurisprudensi!

Kasus Munir memang suatu dilema, batu ujian yang (seharusnya) sangat sulit bagi para aktivis khususnya HAM. Jika putusan kasasi diterima mungkin tak akan ada lagi kelanjutan atas misteri kematian Munir, namun jika Jaksa dibolehkan mengajukan PK mungkin hal ini membuka kemungkinan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang lebih luas, seperti yang terjadi dalam kasus Muchtar Pakpahan satu dasawarsa sebelumnya. Sayangnya dilema tersebut seakan tak tercermin, padahal masalah ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat kritis, dua pilihan yang sama-sama buruk. Tak banyak diskusi mengenai apa implikasi-implikasi lanjutan dari masing-masing pilihan tersebut, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk meminimalisir implikasi yang bersifat negatif. Yang terjadi hanyalah perdebatan legalistis semata, karena telah ada 'yurisprudensinya' maka Jaksa dapat mengajukan PK, karena KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa untuk mengajukan PK maka berarti Jaksa tidak dilarang. Tepat seperti pertimbangan MA dalam putusan Muchtar Pakpahan. Entah apakah argumentasi tersebut dibangun untuk menyindir pertimbangan MA sebelas tahun yang lalu atau memang diyakini sebagai suatu kebenaran.

Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
Dalam putusannya MA cukup panjang lebar dalam memberikan pertimbangan mengenai kewenangan PK oleh Jaksa. Total halaman khusus pertimbangan tersebut sebanyak 9 halaman, yang dimulai dari halaman 17 hingga halaman 25 dari 51 halaman seluruhnya. Dalam pertimbangannya tersebut cukup banyak MA mengutip pertimbangan MA sebelumnya dalam kasus Muchtar Pakpahan. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya pertimbangan MA dalam kasus Muchtar Pakpahan merupakan inti dari pertimbangan MA dalam kasus Pollycarpus. Salah satu Dalam pertimbangan di Kasus Muchtar Papkahan MA berpendat:
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;

Pertimbangan di atas dirujuk oleh MA dalam Kasus Pollycarpus, kemudian MA menambahkan (hal. 19-20):
Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang" tidak menjelaskan tentang "siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali" tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan", tidak menjelaskan "tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali" dan terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud "fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana" selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa;

Dari pertimbangan di atas terlihat bahwa MA menganggap bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai siapa yang dimaksud pihak-pihak yang disebutkan dalam pasal 23 UU No. 4/2004. Jika dibaca secara keseluruhan seluruh pertimbangan MA dalam kedua putusan ini, ketidakjelasan pengertian "pihak-pihak yang berkepentingan" merupakan pertanyaan pokok dari masalah ini. Ketidakjelasan tersebut menurut MA terjadi juga pada pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970, "...tidak menjelaskan siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali", begitu pernyataan MA. ...Suatu pertanyaan dan pernyataan yang menggelikan, mengingat penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 sebenarnya telah dengan gamblang menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.

Penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata diajukan oleh pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya juga para ahli waris dari pihak-pihak yang berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.

Apakah mungkin dalam dua kasus ini Majelis Hakim yang sama-sama dipimpin oleh Ketua MA tersebut menggunakan UU yang tidak ada Penjelasannya? Barangkali UU nya UU bajakan yang dibeli dari Pasar Senen. Ius Curia Novit, hakim harus dipandang tahu hukum (tapi belum tentu hakim tahu halaman penjelasannya ada di mana khan?).

Dalam bagian lain selanjutnya MA dalam putusan Pollycarpus mencoba membangun argumentasi bahwa dalam pasal 263 sebenarnya tidak mutlak mengatur bahwa hak untuk mengajukan PK tidak hanya berlaku bagi Terpidana atau Ahli Warisnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 263 ayat 1.

2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan " Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan" tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;

Dari pertimbangan point b di atas terlihat bahwa menurut MA PK tidak mutlak hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya. Pasal 263 ayat 3 secara logis hanya mungkin diajukan oleh Jaksa. Akan tetapi jika dibaca secara keseluruhan bukannya hal ini berarti hak PK oleh Jaksa tersebut khusus apabila yang terjadi memang sesuai dengan pasal 263 ayat 3, yaitu jika terdapat putusan dimana dakwaan telah dinyatakan terbukti namun tidak diikuti pemidanaan? Mengingat pasal 263 ayat 2 a dan b secara logis juga hanya mungkin diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya.

Dari seluruh pertimbangan MA mengenai kewenangan jaksa untuk PK ini sangat terlihat bahwa MA hanya ingin membuktikan bahwa Jaksa dapat mengajukan PK, namun dengan melepaskan konteks dalam hal apa kewenangan tersebut dapat diberikan. Hal ini terlihat dari misalnya ketika MA merujuk pada pasal 248 ayat 3 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang terdapad pada hal. 25 putusan a quo.
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan";

Dalam pasal 248 ayat 3 tersebut memang jelas disebutkan bahwa Oditur (Jaksanya militer) ternyata memiliki kewenangan untuk mengajukan PK dalam perkara pidana militer. Jika dibandingkan dengan pasal 263 ayat 3 KUHAP sangat terlihat kesamaannya dengan pasal 248 ayat 3 ini, kecuali satu kata, yaitu disisipkannya kata 'Ă“ditur' antara frase 'yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap" dan frase "dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali...".

Pasal 263 (3) UU No. 8 Tahun 1981
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Disisipkannya kata Oditur tersebut memang seakan menjadi jawaban atas misteri, untuk siapa sebenarnya alasan PK dalam pasal 263 (3) di atas. Namun apakah serta merta dapat dikatakan bahwa Oditur dalam perkara pidana militer memiliki hak yang sama untuk mengajukan PK sebagaimana halnya Terpidana atau ahli warisnya?

Selengkapnya pasal 248 UU 3/1971 berbunyi demikian:

Pasal 248

(1) Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Dari pasal 248 ayat 1 s/d 3 tersebut terlihat menjadi lebih jelas, bahwa PK pada prinsipnya merupakan hak dari terpidana atau ahli warisnya, kecuali 1 hal, yaitu yang terdapat dalam ayat 3.
Masalah ini akan lebih jelas lagi jika kita lihat bagaimana sejarah pengaturan mengenai PK ini.

Selain perbandingan dengan UU 31/1997 di atas, untuk memperkuat argumentasinya MA juga merujuk pada Statute of International Criminal Court, khususnya pasal 84 yang memang mengatur mengenai Peninjauan Kembali (Revision of Conviction or Sentence). Dalam halaman 25 MA menyatakan:
2. Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan "1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused"s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that.............";

Dalam pertimbangan di atas MA sengaja menggarisbawahi kata "prosecuter", seakan untuk menunjukkan bahwa dalam ICC pun Jaksa memiliki kewenangan untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun tampaknya MA tidak mencoba mengaitkan kata "prosecutor" tersebut dengan empat kata berikutnya "...on the person's behalf". Dengan rumusan pasal 84 ICC tersebut tentunya harus diartikan bahwa kewenangan PK oleh prosecutor tersebut dimungkinkan namun demi kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau merugikan si tepidana.

Sejarah Peraturan Peninjauan Kembali
Dalam peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai PK pertama kali diatur dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam pasal 15.

Pasal 15

Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.

Penjelasan Pasal 15
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.

Setelah diundangkannya UU No. 19/1964 tersebut, tak selang berapa lama keluar UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagai turunan dari UU 19/1964. Dalam UU ini kemudian dipertegas kembali mengenai adanya lembaga Peninjauan Kembali, tak kurang dari 2 pasal yang menyatakan instrumen hukum ini, yaitu pada Pasal 31 dan pasal 52.

Pasal 31

Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.

Pasal 52

Mahkamah Agung mengadili tentang putusan-putusan yang dimohon peninjauan kembali untuk masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.

Dari dua pasal di atas terlihat bahwa pengaturannya masih terlalu minim. Atas kondisi ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 6 Tahun 1967 tentang Permohonan Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara "Request-Civiel. Inti dari SEMA ini adalah menginstruksikan kepada pengadilan-pengadilan untuk tidak menerima permohonan PK, karena hingga saat itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai persyaratan, tata cara dan lain sebagainya. Namun mengingat ternyata cukup banyaknya permohonan yang diajukan ke pengadilan akhirnya dua tahun kemudian MA mencabut SEMA tersebut dan mengatur mengenai persyaratan dan tata cara permohonan PK melalui PERMA No. 1 Tahun 1969 (tanpa judul). PERMA yang terdiri dari 8 pasal ini kemudian yang menjadi kerangka dasar pengaturan mengenai PK selanjutnya, baik PK dalam hukum acara pidana maupun peradilan lainnya.

Khusus mengenai PK dalam perkara pidana diatur dalam pasla 3 dan 4 Perma tersebut. Selengkapnya:

Pasal 3

Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjaunya kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap,atas dasar alasan:
a. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang menyolok;
b. apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan itu dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
c. apabila terdapat keadaan-keadaan baru, sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui pada waktu sidang yang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbuatan yang di tuduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan;
d. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 4

(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung.
(2) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(3) Permohonan harus diajukan secara tertulis,dengan menyebutkan sejelas jelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepanitraan Pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.
(4) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia diperbolehkan menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan tersebut, yang akan memuat catatan tentang permohonan itu.
(5) Ketua Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirim surat permohonan atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung disertai dengan pertimbangannya.
(6) Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.

Dari pasal 3 di atas terlihat bahwa tedapat kesamaan antara pasal tersebut dengan pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981. Berbeda dengan pasal 263 KUHAP dalam Perma ini memang diatur secara tegas bahwa Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan juga untuk mengajukan PK (Pasal 4 ayat 1), namun tanpa menjelaskan dalam hal apa kewenangan tersebut dimungkinkan. Namun Perma ini sendiri ternyata tak berumur lama, karena tiga bulan kemudian MA mengeluarkan SEMA No. 18 Tahun 1969 yang pada intinya menunda pelaksanaan Perma tersebut hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Setahun kemudian UU No. 19/1964 digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali masalah PK dicantumkan dalam UU ini, yaitu dalam pasal 21 (rumusan pasalnya dapat dilihat dibagian sebelumnya). Dalam pasal 21 ini khususnya bagian penjelasan dijelaskan bahwa untuk perkara pidana PK dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya, UU ini juga tidak mengatur secara detil persyaratan dan tata cara permohonan PK tersebut.

Atas terbitnya UU kekuasaan kehakiman yang baru tersebut Mahkamah Agung langsung menerbitkan lagi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971. Perma ini intinya membatalkan berlakunya Perma No. 18/1969. Pembatalan tersebut dikarenakan pada masa itu sedang dibahas rancangan undang-undang yang akan mengatur hukum acara termasuk Peninjauan Kembali, sehingga MA berpandangan bahwa sebaiknya pelaksanaan pemeriksaan PK menunggu terbitnya UU tersebut. Namun hingga tahun 1976 ternyata rancangan undang-undang yang dimaksudkan tak kunjung terbit, hal ini kemudian mendorong MA untuk mencabut Perma No. 1 Tahun 1971 dan memberlakukan kembali Perma No. 18/1969 melalui Perma No. 1 Tahun 1976.

Pada tahun 1980 mengingat ternyata belum terbit juga undang-undang yang akan mengatur hukum acara peninjauan kembali MA berinisiatif untuk mengadakan rapat kerja dengan DPR mengenai masalah ini. Dalam rapat tersebut disepakati untuk sementara pengaturan PK diatur dalam Perma. Untuk itu maka MA menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Dilihat dari pengaturannya Perma ini jauh lebih komperhensif dari Perma sebelumnya, yaitu Perma No. 1/1969. Jika Perma No. 1/1969 hanya mengatur 8 pasal dalam Perma 1/1980 ini terdapat 23 Pasal.

Salah satu perbedaan substansial dari Perma 1/1980 dengan Perma 1/1969 ini adalah dihapuskannya alasan PK karena adanya kekeliruan atau kekhilafan yang menyolok, baik dalam perkara Pidana maupun perkara Perdata.

Pasal 9

(1) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan:
a. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
b. apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
(2) Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 10

(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.

Pasal 16

Apabila terpidana meninggal dunia sebelum diajukan permohonan peninjauan kembali, permohonan tersebut dapat diajukan oleh yang berkepentingan termasuk ahli warisnya atau Jaksa Agung.

Dari cuplikan ketentuan di atas terlihatt bahwa memang Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK, namun tetap tanpa kejelasan untuk alasan yang mana Jaksa Agung dapat mengajukan PK. Jika dilihat dari pasal 9 terkesan bahwa khusus mengenai PK karena adanya novum (ayat 1 b) hak ini hanya dimiliki oleh terpidana dan 'pihak yang berkepentingan', namun jika dikaitkan dengan pasal 16 terlihat bahwa Jaksa Agung memiliki hak juga untuk mengajukan PK atas dasar novum namun demi kepentingan terpidana itu sendiri.

Kesan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan justru demi kepentingan terpidana itu sendiri dapat terlihat juga dari ketentuan lainnya yaitu dalam pasal 11 dan 12. Dalam pasal 11 ini disebutkan bahwa dalam hal permohonan PK diajukan oleh Jaksa Agung maka permohonan tersebut (sekedar) diberitahukan juga kepada terpidana. Namun apabila permohonan diajukan oleh terpidana maka Jaksa Agung memberikan kesimpulan / pendapat atas permohonan tersebut (pasal 12). Tentunya jika Jaksa Agung dapat mengajukan PK yang dapat memberatkan terpidana maka terpidana juga diberikan hak untuk mengajukan pendapat atau kesimpulan atas permohonan dari Jaksa Agung tersebut, namun ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam Perma ini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan semata-mata demi kepentingan terpidana itu sendiri, atau karena alasan sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat 2, yang memang hanya mungkin diajukan oleh Jaksa Agung.

Usia Perma ini ternyata tak berapa lama, karena setahun kemudian akhirnya terbit UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP ini beberapa ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam baik Perma No. 1/1969 maupun 1/1980 menjadi hilang, yaitu kewenangan Jaksa Agung untuk mengajukan PK, termasuk kewenangannya dalam mewakili kepentingan terpidana itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 16 Perma 1/1980. Penghapusan kewenangan Jaksa tersebut juga terlihat dalam definisi Upaya Hukum yang diatur dalam pasal 1 KUHAP, dalam huruf 12 dinyatakan :
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
Namun dengan dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut menyisakan satu soal, siapa yang mungkin untuk mengajukan PK dengan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 3.

Setelah berlakunya KUHAP tesebut MA tidak pernah menerbitkan Perma maupun SEMA yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali khususnya yang mengatur mengenai PK dalam perkara pidana, kecuali Perma No. 1 Tahun 1982. Pemahaman bahwa PK merupakan hak ekslusif dari Terpidana dan Ahli Warisnya kemudian menjadi pemahaman yang umum, hingga akhirnya muncul permohonan PK oleh Jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Permohonan tersebut sangat mengejutkan masyarakat khususnya kelompok aktivis serta komunitas hukum. Berbagai polemik muncul di media-media massa pada saat itu, tak kurang beberapa mantan Hakim Agung pun turut bicara mengenai masalah ini, seperti misalnya Subianto dan Bismar Siregar , mantan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmaja, Anggota DPR, akademisi, dan lain sebagainya. Berbagai unjuk rasa pun terjadi walaupun dalam skala kecil mengingat situasi politik saat itu yang memang tidak memungkinkan demonstrasi secara besar-besaran.

Setahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Oktober 1997 Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Entah apakah UU ini terpengaruh dari kejadian PK dalam kasus Muchtar Pakpahan atau tidak namun kenyataannya dalam ketentuan mengenai PK dalam perkara Pidana Militer seakan terjadi beberapa perbaikan yang lebih jelas. Hal ini terlihat dari disisipkannya kata "oditur" dalam pasal 248 ayat 3 UU 31/1997 , serta dalam pasal 1 huruf 41 a UU ini.
a. dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;

Dengan pengaturan pasal 1 huruf 41 a dan pasal 248 ayat 3 tersebut menjadi jelas, bahwa (setidaknya) dalam peradilan pidana militer, oditur militer memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan PK, namun kewenangan tersebut terbatas apabila "...dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan." (pasal 248 ayat 3).

Pengaturan PK dalam UU 31/1997 di atas seakan menjadi jembatan antara rumusan PK dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 263 s/d 268 dengan Perma-Perma sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Namun demikian dalam UU ini pun ternyata pengaturan mengenai tata cara permohonan tersebut, khususnya apabila Oditur yang mengajukan PK serta bagaimana ketentuan selanjutnya ternyata tidak terjawab juga dalam UU ini. Misalnya, apakah putusan PK berdasarkan alasan pasal 248 (2) ini juga harus mengikuti pasal 251 ayat (2)?

Implikasi Hukum dimungkinkannya PK oleh Jaksa

Mungkin sudah tak terlalu bermanfaat juga untuk mempermasalahkan lagi apakah Jaksa dapat melakukan PK atau tidak, mengingat dalam kenyataannya MA sebagai benteng terakhir peradilan telah menerima PK oleh Jaksa, tidak hanya sekali namun empat kali. Kita hanya bisa berharap putusan-putusan tersebut dijatuhkan dengan pertimbangan yang matang, serta sesuai dengan rasa keadilan. Kini yang perlu difikirkan adalah apa implikasi-implikasi hukum dari diberikannya kewenangan PK oleh Jaksa.

Terdapat setidaknya 3 (tiga) pertanyaan hukum yang muncul sebagai akibat dari dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK dalam konstruksi hukum acara pidana yang ada saat ini. Pertama, jika Jaksa diperbolehkan untuk mengajukan permohonan PK apakah PK oleh Jaksa tersebut menghapuskan hak terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Pasal 268 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1981 menyatakan secara tegas bahwa permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja. Selain KUHAP terdapat dua Undang-undang lainnya yang menyatakan hal yang sama, yaitu UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU No. 14/1985 di pasal 66 ayat 1 dinyatakan Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Sementara dalam UU No. 4/2004 pada pasal 23 ayat 2 dinyatakan "Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali."

Pertanyaan hukum ini sebelumnya juga pernah muncul, yaitu pada kasus Muchtar Pakpahan. Tak lama setelah MA memutuskan permohonan PK oleh Jaksa tersebut Muchtar Pakpahan juga mengajukan permohonan PK atas PK tersebut ke PN Medan. Pada saat itu sempat Panitera PN Medan menolak mendaftarkan permohonan PK tersebut dengan alasan bahwa PK hanya dapat diajukan 1 kali sesuai dengan pasal 268 ayat 3 KUHAP. Namun setelah mendapatkan kritikan akhirnya PN Medan menerima pendaftaran permohonan PK tersebut, entah bagaimana putusan MA pada saat itu, apakah penolakan tersebut dikarenakan atas pasal 268 ayat 3 KUHAP tersebut atau karena masalah lainnya atau mungkin memang tidak pernah ada putusan PK atas PK tersebut dikarenakan Muchtar Pakpahan mendapatkan abolisi sebelum MA mengeluarkan putusannya. Yang jelas akhirnya Muchtar Pakpahan bebas bukan karena putusan MA namun karena pemberian abolisi yang dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie 4 hari setelah menjabat sebagai Presiden menggantikan HM Soeharto.

Dari pertanyaan pertama ini tentunya hanya ada dua jawaban, PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk juga mengajukan PK, atau PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana. Masing-masing jawaban ini dapat dicari landasan hukumnya baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Masing-masing jawaban tersebut akan menimbulkan permasalahan hukum baru. Jika hak tersebut dianggap hilang maka hal ini membuka peluang bagi Jaksa untuk bertindak secara sewenang-wenang. Bagaimana jika kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut dipergunakan semata untuk menghapuskan hak dari terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Untuk menghapuskan hak terpidana ini tentunya akan sangat mudah dilakukan oleh Jaksa, ajukan saja PK dengan alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim (pasal 263 ayat 2 b), hilanglah hak dari terpidana tersebut bahkan jika dikemudian hari ditemukan novum.

Untuk menghindari hal tersebut tentunya kita akan berfikir bahwa PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk mengajukan kasasi, sangatlah tidak adil jika hal tersebut yang dipilih. Namun jika dipandang bahwa hak tersebut tidak hilang, akan timbul pertanyaan baru, apakah PK yang diajukan oleh terpidana menghapuskan kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK? Jika dikatakan bahwa kewenangan PK Jaksa hilang jika upaya hukum tersebut telah dipergunakan sebelumya oleh Terpidana, dimana dasar hukumnya? Seperti juga tafsir MA atas PK oleh Jaksa "...tak ada aturan yang melarang". So, how do we deal with this problem?

Kedua. Jika PK dapat diajukan oleh Jaksa, kapan terpidana akan 'menikmati' hak nya atas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945? Mengingat dalam KUHAP tidak ada batasan waktu kapan PK dapat diajukan, terlebih lagi dalam pasal 264 ayat 3 dinyatakan "Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu" . Akhirnya tentu kepastian bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengungtungkan terpidana tersebut baru akan benar-benar menunggu dari diajukannya PK oleh Jaksa, yang ternyata tak ada batasannya juga sampai kapan Jaksa akan atau tidak akan mengajukan PK. Artinya tak ada kepastian hukum sama sekali. Hal ini tentunya bukan masalah besar jika kita anggap bahwa kepastian hukum bukanlah hak asasi manusia, atau kalau kita anggap bahwa penjahat bukan manusia.

Di sisi lain tentunya sangat janggal jika masalah ini kita kaitkan dengan daluarsa penuntutan maupun daluarsa pemidanaan yang diatur dalam KUHP. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, KUHAP pada dasarnya menempatkan kedudukan Hak PK dalam kedudukan yang sangat istimewa. Hal ini terlihat dengan diberikannya juga hak atas PK tersebut kepada Ahli Waris Terpidana, yang mana berarti hak tersebut tidak hilang bahkan apabila Terpidana telah meninggal dunia. Hal ini secara kontras berbeda dengan kewenangan untuk menuntut yang dimiliki oleh Negara, dimana kewenangan tersebut gugur apabila Tersangka atau Terdakwa meninggal dunia . Dengan gugurnya hak menuntut tersebut maka berarti secara otomatis apabila pun Negara memiliki kewenangan untuk mengajukan PK kewenangan tersebut dapat gugur walaupun kewenangan tersebut belum dipergunakannya.

Selain itu tentunya menjadi janggal juga jika diperbandingkan dengan PK dalam bidang perdata sebagaimana diatur dalam pasal 67 dan 69 UU No. 14 Tahun 1985.

Tentunya kedepan, jika memang dipandang bahwa Jaksa (tetap) dapat mengajukan PK -selain karena alasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 263 ayat 3- harus diatur mengenai batasan waktu bagi Jaksa untuk dapat mengajukan PK, dan aturan ini harus hanya mengikat bagi Jaksa saja. Mengapa hanya mengikat untuk Jaksa? Ya pikir sendirilah.

Pengaturan tenggat waktu khusus untuk PK yang diajukan oleh Jaksa tentunya dapat dilakukan. Ketentuan tenggat waktu yang ada pada PK dalam bidang perdata dapat dijadikan rujukan, kecuali mengenai satu hal, yaitu PK dengan alasan novum. Jika merujuk pada pasal 69 huruf b UU 14/1985 batasan waktu PK karena adanya novum tenggat waktunya adalah 180 hari setelah ditemukannya novum tersebut. Pembatasan yang demikian tentunya kurang tepat jika diletakan dalam konteks pidana, karena tetap tidak akan memberikan kepastian hukum bagi terpidana. Yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan memberikan tenggat waktu sekian lama setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, termasuk juga dalam hal ditemukannya novum. Jadi andaikan diatur tenggat waktu bagi Jaksa untuk mengajukan PK selambat-lambatnya 180 hari setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, andaikata pun di hari ke 181 ditemukan novum yang dapat menghukum terpidana hak jaksa tersebut tetap dinyatakan gugur. Adilkah? Jawaban ini akan mudah dijawab jika kita mengetahui alasan diaturnya daluarsa penuntutan dan pemidanaan.

Ketiga, dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK sebagai upaya hukum luar biasa otomatis akan menghapuskan upaya hukum luar biasa lainnya, yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum yang diatur dalam pasal 259. Instrumen hukum ini merupakan instrumen hukum yang khusus hanya diberikan kepada Jaksa Agung, dimana hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap selain putusan MA. Upaya hukum ini dalam pasal 259 ayat 2 dinyatakan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Maksud dari ayat 2 ini menurut (....) putusan tersebut tidak memiliki akibat hukum, sesuai juga dengan yurisprudensi MA dalam perkara Drs. H. Ghozin Baidowi (Putusan MA No. 186 K/Kr/1979). Jadi walaupun MA menilai bahwa permohonan Jaksa Agung tersebut tepat maka MA hanya dapat memberikan pertimbangan hukum semata tanpa menjatuhkan vonis, karena tujuan dari upaya hukum luar biasa ini adalah semata untuk meluruskan hukumnya saja untuk menjaga kesatuan hukum.

Jika Jaksa dibolehkan untuk mengajukan PK tentunya timbul pertanyaan, untuk apa Jaksa Agung menggunakan upaya hukum luar biasa ini yang pada akhirnya tidak memiliki dampak apapun terhadap terpidana, padahal ada upaya hukum lainnya yang lebih "menguntungkan"? Terlebih upaya hukum yang lebih "menguntungkan" tersebut tak harus diajukan sendiri olehnya cukup oleh anak buahnya. Kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa pada akhirnya akan benar-benar menjadi upaya hukum luar biasa, dalam pengertian luar biasa bodoh jika Jaksa Agung menggunakannya padahal ada upaya hukum lainnya yang jauh lebih "bermanfaat", yaitu PK.

Kesimpulan
Dimungkinkannya PK
oleh jaksa berimplikasi pada diperlukannya beberapa perubahan ketentuan dalam KUHAP. Perubahan-perubahan tersebut diperlukan demi menjaga kepastian hukum serta untuk melindungi hak-hak terpidana.

Setidaknya perubahan tersebut harus mencakup:
1. Kejelasan mengenai apakah PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana atau tidak.
2. Kejelasan apakah jika PK telah diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dapat dilakukan PK lagi oleh jaksa.
3. Diaturnya tenggat waktu permohonan PK oleh jaksa.
4. Kejelasan mengenai siapa yang dapat mengajukan PK yang diatur dalam pasal 263 ayat 3 serta tata caranya, serta
5. Dihapuskannya upaya hukum luar biasa Kasasi Demi Kepentingan Hukum.

Akhir kata saya ingin mengutip tulisan mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang ditulisnya sesaat setelah diterimanya permohonan PK oleh MA dalam kasus Muchtar Pakpahan.
"Sekali lagi, berprasangka baik. Sebutlah satu di antara yang dua "pasti" salah. Tentang siapa yang salah, biarlah sejarah yang akan menentukan alias wallahu'alam bissawab."

Penulis:

Arsil

Wakil Direktur Eksekutif

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)

Puri Imperium Office Plaza Upper Ground Floor. Unit UG 11 & 12

Jl. Kuningan Madya Kav. 5-6 Kuningan Jakarta 12980 Indonesia

Phone: (62-21) 8302088 Fax: (62-21) 83701810

Email: arsil@leip.or.id | http://www.leip.or.id/

Bahan Bacaan

Siregar, Bismar, Sekali Lagi, Soal Peninjauan Kembali Dalam Kasus Muchtar Pakpahan, dimuat di Republika, 27 Februari 1997.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17396&cl=Berita

Sitanggang, Bahtiar. Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu Perkara Pidana. Dimuat di Kompas 3 Februari 1997

Kompas 13 Februari 1997, Peninjauan Kembali yang Menjadi Rebutan.

Suara Pembaruan 25 Februari 1997. PN Medan Akhirnya Mau Menerima Permohonan PK Mukhtar Pakpahan.

Eddy O Hiariej , Kasus Pembunuhan Munir - Menyoal Rencana PK Pollycarpus, http://kompas.com/kompas-cetak/0702/22/opini/3331527.htm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar