Rabu, 28 Juli 2010

KEDUDUKAN AKTA JAMINAN FIDUSIA OLEH NOTARIS TERHADAP REALISASI KREDIT

April 23, 2010 in Penghunian rumah tanpa hak | Leave a comment
Sumber : http://www.b-linkz.com/

1. Tinjauan yuridis tentang perlindungan hukum bagi para pihak sehubungan dengan telah dipenuhinya persyaratan penjaminan fidusia.

Lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 memberikan kedudukan istimewa bagi kreditur tertentu, yaitu kreditur yang menggunakan jaminan fidusia karena dengan menggunakan jaminan fidusia kreditur tersebut mempunyai hak untuk memperoleh pelunasan hutang lebih dahulu dibandingkan dengan kreditur-kreditur yang lainnya. Hal ini berarti bahwa melalui UU No. 42 Tahun 1999, kedudukan kreditur preferen terlindungi sebab dengan adanya jaminan fidusia yang telah didaftarkan tersebut, kreditur preferen memperoleh kepastian hukum untuk memperoleh kembali kredit yang telah dikeluarkannya.

Lembaga jaminan fidusia yang memungkinkan tidak terjadinya pengalihan benda secara fisik, dalam arti benda masih dapat tetap berada di tangan debitur dan hanya hak kepemilikannya saja yang berpindah, menunjukkan bahwa lembaga fidusia bersifat elastis. Dengan tetap dikuasainya benda obyek jaminan fidusia oleh debitur, terutama jika obyek jaminan itu sangat diperlukan dalam menjalankan usahanya, kegiatan usaha debitur tidak terhambat dan dapat berlangsung sebagaimana biasanya. Ini berarti bahwa UU No. 42 Tahun 1999 juga memberi kepastian hukum bagi debitur untuk tetap menggunakan obyek jaminan fidusia untuk melakukan aktivitas bisnisnya.

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia sebagaimana diataur dalam UU No. 42 Tahun 1999 dilakukan untuk memenuhi asas publisitas dan sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lain mengenai benda tersebut. Dengan demikian, terciptalah transparasi hukum sehingga timbulnya upaya penipuan atau itikad buruk dari para pihak terkait dapat diperkecil.

Salah satu ciri jaminan fidusia yaitu memberi kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya memberi jaminan bagi penerima fidusia jika pihak pemberi fidusia cidera janji. Kekuatan eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat jaminan fidusia memberi kewenangan dan kemudahan bagi penerima fidusia untuk langsung mengeksekusi obyek jaminan tersebut secara final, tanpa melalui pengadilan serta mengikat para pihak terkait untuk melaksanakan putusan eksekusi tersebut.

Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan bahwa debitur tetap bertanggung jawab atas barang yang belum terbayar dalam hal hasil eksekusi tidak mencukupi pelunasan hutangnya memberikan keamanan bagi kredit yang diberikan kreditur. Pasal 34 UU No. 42 Tahun 1999 secara otomatis memberi kepastian bagi kreditur penerima fidusia untuk memperoleh pelunasan piutangnya secara utuh karena jika nilai jual (eksekusi) obyek jaminan fidusia tersebut tidak mencukupi pelunasan hutang pemberi fidusia, maka berdasarkan ketentuan Pasal 34 tersebut, kreditur penerima fidusia berhak meminta debitur pemberi fidusia untuk membayar kekurangan hutang tersebut dengan harta kekayaan yang lain.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa UU No. 42 Tahun 1999 lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan yurisprudensi yang sebelumnya mendasari keberadaan jaminan fidusia. Ditinjau dari materi yang diatur dari materi UU No. 42 Tahun 1999 lebih melindungi kepentingan hukum kreditur penerima fidusia, daripada melindungi kepentingan hukum debitur pemberi fidusia. Hal ini tampak bahwa sebagian besar aturan yang tercantum di dalam UU No. 42 Tahun 1999 lebih terfokus pada upaya untuk membuat kreditur penerima fidusia memperoleh pelunasan hutangnya lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain, baik melalui sita eksekusi maupun eksekusi jaminan.

2. Efekifitas Penggunaan Akta Jaminan Fidusia dalam rangka penjaminan dan realisasi kredit.

Agar pemberi kredit memperoleh jaminan bahwa kredit yang disalurkannya dikembalikan pada waktunya, maka akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris harus didaftarkan di kantor pendaftaran jaminan fidusia. Melalui pendaftaran Akta jaminan fidusia yang dibuat oleh Notaris/PPAT, pemberi kredit akan akan mempunyai kedudukan preferen, yaitu hak untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain dalam rangka memeperoleh pelunasan piutangnya

Sedangkan terhadap identitas obyek jaminan dan penerima fidusia, sesungguhnya telah tercantum di dalam Akta jaminan fidusia yang dibuat oleh Notaris/PPAT yang ditunjuk. Dengan demikian, apabila di kemudian hari terjadi sengketa yang menyangkut kepemilikan obyek jaminan fidusia, penerima fidusia cukup meminta pertanggungjawaban notaris/PPAT pembuat akta yang bersangkutan karena Notaris/PPAT bertanggung jawab atas kebenaran yang diutarakan di dalam akta perjanjian jaminan fidusia yang dibuatnya.

Data mengenai calon debitur beserta obyek yang dijaminkan yang tercantum dalam akta jaminan fidusia yang dibuat Notaris akan mempermudah pihak bank untuk melakukan penilaian atas kebenarannya. Dengan adanya akta jaminan fidusia yang duibuat oleh notaris yang kebenaranya telah diakui oleh pihak bank, maka proses pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU No. 42/1992 akan lebih mudah dilakukan. Dengan demikian maka bank selalu pemberi kredit yang sekaligus berkedudukan sebagai penerima fidusa dapat sewaktu waktu melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusa tersebut saat debitur yang bersangkutan cidera janji.

Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Berdasar ketentuan hukum yang berlaku dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :

1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri.

Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.

2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian.

Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun ; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.

3. Ada suatu hal tertentu

Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak.

4. Adanya suatu sebab yang halal

Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :

* tidak bertentangan dengan ketertiban umum
* tidak bertentangan dengan kesusilaan
* tidak bertentangan dengan undang-undang

Langkah Hukum ( Pidana ) Terhadap Penyewa Rumah Yang Beritikad Tidak Baik

Dalam kehidupan di masyarakat sering terjadi masalah yang berkaitan dengan sewa menyewa rumah, dimana masa sewanya telah berakhir tetapi penyewa masih tetap menguasai dan menempati rumah yang disewanya serta tidak dengan sukarela untuk segera meninggalkan atau mengosongkannya. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan pihak pemilik rumah yang tidak menguasai secara fisik. Padahal sebagai pemilik seharusnya dia berhak menikmati rumah ataupun bangun yang dimilikinya. Apabila hal ini terjadi, bagaimanakah langkah hukum yang efektif yang harus ditempuh oleh pemilik rumah dan bangunan ?

Pada dasarnya sewa menyewa masuk dalam ranah Hukum Perdata, sehingga jika timbul masalah seperti diatas dapat mengajukan gugatan secara keperdataan kepada pihak penyewa dengan gugatan perbuatan melawan hukum (on recht matigedaad) atau gugatan wanprestasi (ingkar janji / cidera janji) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dengan tuntutan agar si penyewa / penghuni segera meninggalkan rumah atau bangunan tersebut tanpa syarat apapun. Gugatan ini juga dapat disertai permintaan ganti rugi oleh pemilik rumah.

Namun apabila menempuh jalur hukum secara keperdataan sampai dengan putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap ( inkracht van gewijsde ) akan memakan waktu berbulan-bulan bahkan terkadang sampai tahunan sehingga akan merugikan pihak pemilik rumah atau bangunan dari segi waktu. Oleh karena itu, ada cara penyelesaian yang lebih efektif yaitu diselesaikan melalui jalur pidana.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman mengatur secara pidana bagi penghunian tanpa hak atas rumah dan tanah sehingga perkara penempatan tanpa hak atas Rumah dan tanah dapat diperkarakan secara pidana. Demikian halnya sewa menyewa yang telah habis masa sewanya dapat dituntut secara pidana dengan ancaman hukuman badan (penjara) maupun denda, diatur dalam Pasal 36 ayat 4 UU No. 4 Tahun 1992.

Khusus untuk penempatan rumah tanpa hak yang diawali dengan perjanjian sewa menyewa sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). No 44 tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Bukan oleh Pemilik juga dalam Peraturan Pelaksananya yaitu Pasal 10 ayat 2, di situ dijelaskan bahwa perjanjian sewa yang sudah sampai pada batas waktunya dan penghunian dinyatakan tidak sah, maka pemilik atau si pelapor dapat meminta bantuan kepada POLRI untuk segera mengosongkannya sekaligus polisi mempunyai kewajiban untuk menyidik dan melimpahkan perkara pidana tersebut kepada pihak kejaksaan untuk diajukan penuntutan kepengadilan. Di lihat dari waktu, mekanisme penyelesaian secara pidana sebagaimana diatur oleh UU No. 4 tahun 1992 dan Peraturan Pelaksaannya No. 44 tahun 1994 lebih efektif dibandingkan dengan penyelesaian secara perdata.

Demi kepastian hukum, efektifitas waktu, biaya dan rasa keadilan bagi pemilik hak atas rumah dan tanah miliknya yang ditempati oleh orang lain (penyewa) tanpa alas hak yang sah atau dihuni oleh orang yang bukan pemiliknya, maka pilihan tepat penyelesaiannya adalah dengan menggunakan UU No. 4 Tahun 1992 jo PP No. 44 Tahun 1994, dengan harapan agar penyewa yang beritikad buruk tidak dapat berbuat semena-mena yang dapat merugikan pemilik hak atas rumah dan tanah.

Penghunian Rumah Tanpa Alas Hak

April 23, 2010 in Penghunian rumah tanpa hak | Leave a comment
Sumber : http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Penghunian-Rumah-Tanpa-Alas-Hak,1
SEWA-menyewa rumah hunian atau biasa disebut kontrak yang telah berakhir
masanya, sering berakhir dengan ketidakengganan sang penyewa meninggalkannya
tanpa alasan yang jelas. Fenomena ini tidak sekali dua kali terjadi di dalam
kehidupan bermasyarakat. Menyikapi persoalan ini, masyarakat yang pada umumnya
kurang paham dan tidak tahu cara penyelesaiannya kerap bertindak eigenrichting.
Bahkan bila persoalan ini dilaporkan kepada pihak berwajib, sering pihak
berwajib menyatakan masalah ini adalah keperdataan.

Dengan anggapan perkara ini adalah keperdataan, maka penyelesaiannya dapat
dilakukan secara kekeluargaan atau musyawarah di luar hukum. Bila ini tidak
tercapai baru ditempuhlah dengan mengajukan gugatan secara keperdataan
sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yang lebih dikenal on recht
matigedaad (perbuatan melawan hukum/PMH) atau gugatan wanprestasi
(ingkarjanji/cidera janji) dengan tuntutan sipenyewa/penghuni agar segera
meninggalkan rumah atau bangunan tersebut tanpa syarat apapun. Gugatan ini juga
dapat disertai permintaan ganti rugi oleh pemilik rumah.

Namun dalam menempuh jalur hukum secara keperdataan ini sampai dengan putusan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde) akan
memakan waktu berbulan–bulan bahkan terkadang sampai tahunan (Putusan PN, PT
bahkan MA). Dengan demikian sebagai pemilik Rumah dan tanah yang sah sering
mengalami kedongkolan dalam persoalan waktu tersebut.

Menarik untuk ditelaah lebih lanjut secara pidana bahwa apabila seseorang yang
hak miliknya dikuasai/dihuni/disewa padahal telah habis masa sewanya ternyata
penghuni/penyewa sering enggan dengan berikthikat tidak baik, yaitu tidak mau
segera meninggalkan rumah dan tanah yang disewanya padahal diketahui telah
habis masa sewanya. Hal ini dengan pola pikiran yang kurang bijaksana dari
mereka penyewa, lebih baik menunggu untuk diberikan pesangon atau digugat oleh
pemilik rumah dan tanah tersebut dengan asumsi nantinya akan memakan waktu yang
relatif. Sementara si-penyewa, masih tetap menghuninya ketika perkara tersebut
dalam pemeriksaan di pengadilan.

Permasalahan inilah yang menjadi problema pemilik hak atas tanah dan rumah yang
disewa oleh penyewa yang berikhtikat tidak baik tersebut. Sebagai pemilik tanah
dan rumah yang tidak menguasai secara phisik tanah dan bangunan sangat jelas
mengalami kerugian baik materiil maupun immateriil, sementara akhirnya penghuni
tanpa alas hak tersebut hanya dibebankan segera keluar meninggalkan tanah dan
rumah tersebut. Sehingga menuntut hak secara keperdataan saja dirasa tidak
menguntungkan atau memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman mengatur secara
pidana bagi penghunian tanpa hak atas rumah dan tanah sehingga perkara
penempatan tanpa hak atas Rumah dan tanah dapat diperkarakan secara pidana
demikian halnya sewa menyewa yang telah habis masa sewanya dapat dituntut
secara pidana dengan ancaman hukuman badan (penjara) maupun denda, diatur dalam
pasal 36 ayat 4 sangat jelas memuat sanksi pidana bagi pelakunya selama
maksimal 2 tahun penjara dan atau denda maksimum Rp 20 juta.

Khusus untuk penempatan rumah tanpa hak yang diawali dengan perjanjian sewa
menyewa sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). No 44 tahun
1994 tentang Penghunian Rumah Bukan oleh Pemilik diatur juga dalam Peraturan
Pelaksanaan yang melengkapi UU tersebut di atas dalam pasal 10 ayat 2 nya
dijelaskan bahwa perjanjian sewa yang sudah sampai pada batas waktunya dan
penghunian dinyatakan tidak sah, maka pemilik atau si pelapor dapat meminta
bantuan kepada POLRI untuk segera mengosongkannya sekaligus polisi mempunyai
kewajiban untuk menyidik dan melimpahkan perkara pidana tersebut kepada pihak
kejaksaan untuk diajukan penuntutan kepengadilan.

Mempertimbangkan rasa keadilan dan efektifitas waktu pada kepentingan
pencari keadilan (pemilik hak atas rumah dan tanah yang disewa) dengan
melakukan upaya hukum secara keperdataan akan memakan waktu yang relatif lama
jika dibandingkan dengan mekanisme secara pidana sebagaimana yang telah diatur
oleh UU No. 4 tahun 1992 dan Peraturan Pelaksaannya No. 44 tahun 1994.

Demi kepastian hukum, efektifitas waktu, biaya dan perolehan keadilan
secara hukum terhadap pemilik hak atas rumah dan tanah miliknya yang ditempati
oleh orang lain (penyewa) tanpa alas hak yang sah atau dihuni oleh orang yang
bukan pemiliknya, maka pilihan tepat adalah menggunakan UU No. 4 Tahun 1992 jo
PP No. 44 Tahun 1994. Dengan harapan agar penyewa (pelaku kejahatan) tidak
dapat berbuat semena-mena dan merugikan pemilik hak atas rumah dan tanah,
melindungi masyarakat pada umumnya dan menghukum pelaku kejahatan tersebut
sebagaimana hukum itu dibuat bertujuan untuk ketertiban dalam masyarakat. ***

Selasa, 27 Juli 2010

PENAHANAN YANG DIKENAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (UU NO. 8 TAHUN 1981)

February 14, 2010 in Artikel | Tags: Hukum Acara, KUHAP, Pidana
Jika kita perhatikan secara cermat tentang penahanan dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat ditemui pada pasal – pasal antara lain :

Pasal 1 butir 21 menyebutkan bahwa Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini .

Selanjutnya pada penjelasan dari pasal 1 butir 21 itu ternyata memuat “cukup jelas”, demi kepastian hukum untuk terlaksananya penahanan secara sah haruslah berdasarkan “penetapannya”, yang dimaksud dengan penetapannya menurut hemat penulis pastilah suatu prodak hukum berbentuk penetapan yang dikeluarkan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim. Dengan kata lain penahanan terhadap tersangka atau terdakwa baru sah apabila didasarkan pada adanya penetapan dari penyidik, penuntut umum atau oleh hakim. Penetapan Penahanan tersebut haruslah pula disampaikan (ditembuskan ) kepada keluarga yang ditahan. Jadi penahanan yang dilakukan tanpa penetapan dari penegak hukum yang berwenang atau penetapan dikeluarkan oleh penegak hukum yang tidak berwenang adalah tidak sah dan batal demi hukum. Penetapan penahanan yang tidak ditembuskan kepada keluarga yang ditahan juga mengandung masalah hukum.

Secara operasional penahanan itu harus didasari dengan suatu “penetapan” dari yang berwenag melakukan penahanan, aturan ini dapat dibaca pada Petunjuk Teknis yang dikeluarkan oleh Kepolisian R I No.Pol.: JUKNIS/04/II/1982 tentang Penahanan butir 5 huruf a.

Kapan terhadap Tersangak atau Terdakwa dapat dilakukan penahanan diatur secara jelas pada pasa 21 ayat 1 KUHAP :

- diduga keras melakukan /percobaan melakukan/membantu melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup;

- adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka: akan melarikan diri, merusak atau akan menghilangkan barang bukti dan atau

- akan mengulangi tindak pidana;

- tindak pidana yang dipersangka termasuk rumusan pasal 21 ayat 4 ;

Selanjutnya tentang penahannan itu sendiri dan bagaimana mekanismenya diatur pada pasal 20 s/d pasal 31 KUHAP, jenis-jenis penahanan diatur pada pasal 22 ayat 1 Undang-Undang No.8 tahun 1981: Jenis penahanan dapat berupa : bunyinya persis sama dengan bunyi pasal 1 butir 21 KUHAP.

a. Penahanan rumah tahanan negara;

b. Penahanan rumah;

c. Penahanan kota;

Pasal 22 ayat 1 ini lebih tegas dalam penjelasanya menyatakan : Selama belum ada rumah tahanan negara ditempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, dikantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa ditempat lain;

Pasal 22 ayat 2 : Penahanan rumah dilaksanakan dirumah tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan;

Pasal 22 ayat 2 inipun dipertegas oleh penjelasannya: Tersangka atau terdakwa hanya boleh keluar rumah atau kota dengan izin dari penyidik, penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan.

Pasal 22 ayat 3 : Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempata kediaman tersangka atau teredakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan;

Pasal 22 ayat 4 : Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

Pasal 22 ayat 5 : Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan;

Dalam praktek timbul permasalahan dan pertanyaan tentang tersangka yang dalam status mejalani tahanan dirumah tahanan negara tiba-tiba sakit dan harus dirawat dirumah sakit, baik atas dasar dilakukan pembantaran atau tidak. Dengan merujuk pada penjelasan pasal 22 ayat 1 KUHAP diatas menurut hukum, maka status tersangka yang dalam menjalani tahanan dirumah tahanan negara dan karena harus dirawat dirumah sakit, maka statusnya adalah tetap sama dengan status dalam tahanan rumah tahanan negera dan selama masa menjalani perawatan tersebut harus dihitung sebagai penahanan penuh, karenanya harus pula dikurangkan secara penuh dengan lamanya hukuman yang dijatuhkan nantinya;

Pendapat tersebut seiring dengan apa yang dikemukakan oleh ahli hukum acara pidana antara lain : Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana halaman 139 yang menyatakan :

”…, karena tahanan dirumah sakit itu menurut penjelasan pasal 22 ayat 1 KUHAP tersebut sama dengan rumah tahanan negara”.

Selanjutnya juga ada pendapat ahli yang menyatakan bahwa tidak ada orang atau seseorang yang rela dan menginginkan ditahan atau sakit, makanya yuridis pshychologis ditahan dirumah tahanan negara atau di rumah sakit sama saja tidak enaknya. Dengan kata lain tidak seorang waraspun yang punya inisiatif atau keinginan berada/ditempatkan dirumah tahanan negara atau di rumah sakit.

Tentang kewenangan dan lamanya masing-masing penegak hukum yang berhak untuk melakukan penahanan diatur secara tegas pada pasal 24 s/d 28 KUHAP, dalam setiap pasal itu salalu dibunyikan : …. Setelah waktu ….. belum juga selesai atau diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum . Selanjutnya untuk tidak berhadapan dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran HAM seyogyanya aparat penegak hukum (penyidik, jaksa dan hakim) yang diberi kewenangan untuk melakukan upaya paksa (penahanan dan atau penyitaan) oleh KUHAP, perlu bertindak selektif dan yuridis untuk penahanan misalnya dengan bukti yang cukup untuk melakukan penahanan bagi terdakwa, tersangka yang diduga keras akan melanggar ketentuan pasal 21 ayat 1 KUHAP, jika alasan untuk itu tidak cukup kuat, maka upaya paksa tidak perlu dilakukan. Pertanyaannya sekarang adalah dalam praktek terkesan upaya paksa yang bernama penahanan lebih dirasakan sebagai bahan untuk menaikkan bergining position dari pejabat yang berwenang, sehingga setiap kasus pelakukanya harus ditahan.

Bagi masyarakat praktek main tahan inilah yang dirasakan sangat menonjol, sehingga telah mengaburkan “demi kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan dan atas dasar bukti permulaan yang cukup” pelaku kejahatan harus ditahan.

Sehingga akhirnya upaya pakasa itu telah beralih menjadi ajang tawar-menawar dalam rangka “dagang sapi”. Dalam praktek

Praktek main tahan inilah yang akhirnya menimbulakan kesan penahanan tujuannya untuk minta duit, penegak hukum bagaikan pisau bermata dua, penahanan lebih bersifat pelaksaan hukuman (menimpakan derita kepada pelaku) ketimbang demi kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan sebagaimana diamanat pasal 21 ayat 1 KUHAP.

Senin, 26 Juli 2010

permohonan PK perkara 124 PK/PDT/2007 yang diajukan oleh PT SPI

Angin segar berhembus dari Jalan Medan Merdeka Utara. Bagi masyarakat yang
pernah kehilangan kendaraan, baik sepeda motor atau mobil bisa menggunakan dasar putusan Mahkamah Agung (MA) ini untuk minta ganti rugi pengelola parkir.
Lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) tertanggal 21 April 2010, setiap penyedia layanan parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang dengan sejumlah uang senilai kendaraan yang hilang.

Putusan yang baru keluar baru-baru ini berdasarkan permohonan PK perkara 124
PK/PDT/2007 yang diajukan oleh PT SPI, sebuah perusahaan layanan parkir. PT SPI meminta PK atas putusan kasasi yang memenangkan konsumennya, Anny R Gultom untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.

Sayangnya, putusan PK yang dibuat oleh 3 hakim agung yaitu Timur P Manurung,
Soedarno dan German Hoediarto menguatkan putusan Kasasi yaitu PT SPI harus
mengganti kendaraan yang hilang.

“Dengan putusan tersebut maka pengelola parkir tidak dapat lagi berlindung
dengan klausul baku pengalihan tanggung jawab yang berbunyi ‘segala kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parkir’,” kata kuasa hukum Anny, David Tobing kepada detikcom, Senin (26/7/2010).

PK ini otomatis menguatkan 3 putusan di bawahnya yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta serta Putusan Mahkamah Agung.

“Artinya, PT SPI harus membayar mobil hilang senilai Rp 60 juta. Dengan
putusan ini maka telah menjadi yurisprudensi dan harus diikuti oleh pengelola parkir dimana pun,” tambahnya.

Nah, bagi masyarakat apabila kehilangan kendaraan d tempat parkir, bisa segera dimintakan ganti rugi. Apabila pengelola ingkar dan berdalih tak bertanggungjawab, putusan MA ini bisa jadi landasan hukum menggugat.

(asp/nwk)

Kendaraan Hilang Diganti Saat Parkir, Pengelola Tak Bisa Mangkir

Mahkamah Agung (MA) lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) ‘menghukum’ pengelola parkir untuk mengganti kendaraan yang hilang saat di parkir. Pengelola pun tak bisa lagi untuk mangkir.

Padahal, masyarakat umumnya ketika kehilangan sepeda motor atau mobil langsung pasrah.

Tapi mulai saat ini tidak. Masyarakat bisa melawan dan berhak mendapat ganti rugi. Mengapa?

“Karena pada prinsipnya usaha perparkiran adalah penitipan barang sehingga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata apabila barang yg dititipkan hilang maka harus diganti dengan wujud yang sama seperti barang yang dititipkan,” kata kuasa hukum konsumen PT SPI Anny R Gultom, David Tobing kepada detikcom, Senin (26/7/2010).

Selain itu klausul baku pengalihan tanggung jawab bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1a Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha mencantumkan klausul baku pengalihan tanggung jawab dalam menawarkan barang dan jasa.

“Jadi semakin jelas, tidak ada alasan apapun bagi pengelola untuk mangkir dari tanggung jawab. Seperti dengan klausul di tiket parkir yaitu segala kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parkir,” bebernya.

Putusan PK tersebut dibuat oleh 3 hakim agung yaitu Timur P Manurung, Soedarno dan German Hoediarto menguatkan putusan Kasasi yaitu PT SPI harus mengganti kendaraan yang hilang.

“Baru (Senin) sore tadi saya dapat info putusan PK-nya. Semoga ini memberi pelajaran bagi kita semua. Masyarakat mengerti haknya. Pengelola parkir juga mengerti tanggungjawabnya,” pungkasnya.

Lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) tertanggal 21 April 2010, setiap penyedia layanan parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang dengan sejumlah uang senilai kendaraan yang hilang.

Putusan yang baru keluar baru-baru ini berdasarkan permohonan PK perkara 124 PK/PDT/2007 yang diajukan oleh PT SPI, sebuah perusahaan layanan parkir. PT SPI meminta PK atas putusan kasasi yang memenangkan konsumennya, Anny R Gultom untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. MA malah menguatkan putusan kasasi dan menolak PK PT SPI.

Minggu, 25 Juli 2010

Artikel Hukum

AdvokatAdvokat pertama di IndonesiaAsal Muasal Kalender ImlekAyo menggugatCivis Pacem Para BelumEksepsi Dalam Sidang PerdataGoodwillHAPID-1HAPID-2http:// dan Vs. https://Internet in Law EnforcementintersepsiKantor Advokatkeamanan di internetPasal Penghinaan UU-ITEPelanggaran UU-ITEPencurian Identitas NasabahPenemuan HukumPeninjauan KembaliPenyelidikan dan PenyidikanPeradi & KAIPerbedaan Kapal 1Perbedaan kapal 2Persamaan GenderPetisi Advokat - 10 November 09Pidato PJM Saikoo SikikanPrinsip Menjalankan Profesi AdvokatPrivacy Dalam FacebookSekilas Pengertian Sumber HukumSeragam KoruptorSkema batas usia dewasaSkema Penahanan [pidana]Skema Upaya HukumTahapan Sidang PerdataThe Miranda RightsVOC-Korporasi yang digagas PengacaraYurisdiksi cyber-space
10 Point Menggunakan Jasa Advokatkeabsahan TTE dalam RUPSKode Etik Petugas Penegak Hukumpasal penting sewa-menyewaPenghakiman via cyber-spaceperkawinan beda agamaPutusan MA dalam PKsi kecil sang pejuangThe Code of HammurabiThe pure theory of law [Hans Kelsen]tips menggunakan advokatYap Thiam HIen [1913-1989]Yurisdiksi dunia maya
Hukum Acara Pidana - 1
Pengertian:
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni UU-08-1981, berlaku sejak 31 Desember 1981

Pengertian
Tersangka, menurut pasal 1 ayat 4 KUHAP adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak (presumption of innocence) azas praduga tak bersalah
Terdakwa, menurut pasal 1 ayat 5 KUHAP adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dipersidangan pengadilan.
Terpidana adalah yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan pidana

Jenis Pidana yang dapat dijatuhkan kepada seorang Terpidana menurut pasal 10 KUHP, adalah:
Pidana pokok
Pidana mati
Pidana penjara
Pidana kurungan
Pidana denda
Pidana Tambahan
Pencabutan hak-hak tertentu
Perampasan barang-barang tertentu
Pengumuman keputusan
Hak-hak Tersangka/Terdakwa
Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang tersangka, atau terdakwa. Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka, atau terdakwa telah dilanggar. Hak tersangka atau terdakwa:
mendapat pemeriksaan dengan segera (pasal 50:1)
perkaranya segera dilanjutkan ke Pengendilan (pasal 50:2)
segera diadili oleh Pengadilan (pasal 50:3)
mempersiapkan pembelaan (pasal 51 huruf a)
diberitahukan perihal apa yang didakwakan kepadanya (pasal 51 huruf b)
memberikan keterangan secara bebas (pasal 52)
mendapat bantuan juru bahasa (pasal 52:1) bagi yang tidak mengerti bahasa Indonesia
mendapat bantuan dalam bisu/tuli (pasal 53:2)
mendapat bantuan hukum (pasal 54,55)
untuk ditunjuk pembela dalam hak terdakwa dengan ancaman hukuman mati (pasal 56)
menghubungi Penasehat Hukum (pasal 57:1)
menerima kunjungan dokter pribadi (pasal 58)
diberitahukan kepada keluarganya (pasal 59)
menghubungi dan menerima kunjungan keluarga (pasal 60,61)
mengirim dan menerima surat (pasal 62)
menghubungi dan menerima Rohaniawan (pasal 63)
untuk diadili di sidang yang terbuka untuk umum (pasal 64), kecuali kasus susila, dan kasus terdakwa anak-anak yang masih di bawah umur
mengusahakan dan mengajukan saksi/saksi ahli atau saksi A De Charge (saksi yang menguntungkan) (pasal 65)
tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66)
banding (pasal 67)
mendapat ganti rugi dan rehabilitasi (pasal 68)
mendapat salinan dari semua surat/berkas perkara (pasal 72)

Proses terjadinya Perkara Pidana
Perkara pidana dapat terjadi karena :
Tertangkap tangan artinya tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudah beberapa saat tidak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau saat itu ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ( pasal 1:19)
Laporan/pemberitahuan, artinya suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pihak yang berwewenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinnya peristiwa pidana.(pasal 1:21). Pihak yang berhak mengajukan laporan (pasal 103) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap : -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk laporan: -lisan, - tulisan; pelor wajib diberikan tanda penerimaan laporan (pasal 108:6)
Pengaduan, artinya pemberitahuan resmi disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pihak berwenang untuk menindak, menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (pasal 1:25). Pihak yang berhak membuat pengaduan (pasal 108) adalah setiap orang yang :
mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana
melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana,
menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana ,
menjadi korban dari peristiwa tindak pidana,
mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap: -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan
setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk pengaduan: -lisan, - tulisan (pasal 108:6). Tindak pidana aduan dalam KUHP: pasal: 72, 73, 278, 284, 287, 310, 311, 315, 319, 321, 332, 320

Penegak Hukum dan Wewenangnya
Penyelidik, setiap pejabat Polisi RI, yang berwenang untuk melakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur uu) (pasal 1;5). Menurut pasal 4, penyelidik berwenang : a, karena jabatan untuk; (1) meneriam laporan, atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (2) mencari keterangan dan barang bukti, (3) menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, (4) mengadakan tindakan lain menurut hukum, dan b. atas perintah penyidik, penyelidik, dapat melakukan tindakan berupa : (1) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan (2) pemeriksaan dan penyitaan surat, (30 mengambil sidik jari dan memotret seseorang (4) membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik
Penyidik (pasal 1:1), setiap pejabat Polisi RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan. Kepangkatan untuk menjadi penyidik: (1) Pejabat Polisi RI, sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I/Golongan II-b. Wewenang penyidik menurut pasal 7: (a) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, (c.) menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang tersangka, (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang, (g) memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara, (I) mengadakan penghentian penyidikan
Penangkapan, suatu tindakan penyidik, berupa penggekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, dalam hal serta menurut yang diatur dalam UU (pasal 1:2). Berwenang melakukan penangkapan: (a) penyidik, (b) penyidik pembantu, (c.) penyelidik atas perintah penyidik. Bukti permulaan menurut SK Kapolri No. Pol SKEEP/04/I/1982, 18 Februari 1982, merupakan keterangan dan data yang terkandung didalam dua di antara: (1) laporan polisi, (2) Berita Acara Pemeriksaan di TKP, (3) Laporan Hasil Penyelidikan, (4) Keterangan saksi, saksi ahli, dan (5) barang bukti. Saat melakukan penangkapan petugas wajib (a) menyerahkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka, yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa, (b) menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka (tersangka tertangkap tangan dalam waktu 24 jam harus menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penyidik)
Penahanan (pasal 1:21), penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatut UU. Berwenang menahan adalah, penyidik, penuntut umum dan hakim. Alasan penahanan menurut pasal 20:3 adalah tersangka/terdakwa dikuatirkan: (a) melarikan diri, (b) akan merusak/menghilangkan barang bukti, dan (c.) akan melakukan lagi tindak pidana. Untuk melaksanakan penahanan, petugas harus dilengkapi, surat penahanan dari penyidik, atau jaksa penuntut umum, atau hakim yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa. Penahanan ini hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang disangka/didakwa melakukann tidak pidana atau percobaan, maupun perbuatan bantuan dalam tindak pidana menurut pasal 20:4 KUHAP, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun dan atau tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 283:3, 296, 335:1, 372, 378, 379a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 506 KUHP. Adapun jenis penahanan: (1) Penahanan Rumah Tahanan Negara, (2) Penahanan Rumah, (3) Penahanan Kota. Lama penahanan oleh penyidik 20 hari (ps 24:1) perpanjang 40 hari oleh JPU (ps 24:2), penuntut umum 20 hari (ps 25:1). Perpanjang 30 hari oleh Ketua PN (ps 25:2, hakim pengadilan negeri 30 hari (ps 26:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PN (ps 26:2), hakim pengadilan tinggi 30 hari (ps 27:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PT (ps 27:2), dan hakim mahkama agung 50 hari (ps 28:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua MA (ps 28:2) . Penangguhan penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dengan jaminan uang atau barang, dengan syarat, tersangka/terdakwa wajib lapor, tidak boleh keluar rumah, atau tidak boleh keluar kota
Penggeledahan (pasal 1:17), mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana, penyidik harus memeriksa suatu tempat tertutup atau badan orang. Menurut pasal 33 penggeledahan oleh penyidik harus; dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, dengan perintah tertulis dari penyidik, disertai dua saksi (apabila tersangka/penghuninya menyetujui), disaksikan oleh Kepala Desa, atau Ketua lingkungan dengan dua orang saksi dalam hal tersangka/penghuni menolak atau tidak hadir, dan membuat berita acara yang ditembuskan kepada pemilik/penghuni rumah, dalam waktu 48 jam setelah penggeledahan dilakukan
Penyitaan (pasal 1:16), serangkaian tindakan penyidik mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktiaan dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Penyidikan. Pemeriksaan tersangka oleh penyidik dilakukan dengan sistem inquisitoir, dimana pemeriksaan dilakukan dengan menganggap tersaka sebagai obyek pemeriksaan. Penyidikan dianggap telah selesai, apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan .Penghentian penyidikan dengan memberitahukan kepada penuntut umum dapat dilakukan, apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa ternyata bukan merupakan tindakan ridana, dihentikan demi hukum (karena lampau waktu (verjarig) persoalan yang sama sudah pernah diadili dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Nebis in Idem)) , dan tidak ada pengaduan/pengaduan dicabut dalam hal tindak pidana
Penuntutan (pasal:7) tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Proses penuntutan: Penyidik penyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum untuk diperiksa dalam jangka waktu 7 hari harus segera melaporkan kepada penyidik, apakah hasil penyidikan telah selesai atau belum (pasal 138:1). Apabila belum lengkap, hasil penyidikan dikembalikan untuk diperbaiki oleh penyidik dalam jangka waktu 14 hari harus sudah balik ke penuntut umum. Jika hasil penyidikan telah dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut dalam waktu secepatnya membuat "Surat Dakwaan"
Koneksitas, percampuran orang-orang yang sebenarnya termasuk jurisdiksi Pengadilan yang berbeda dalam suatu perkara, misalnya seorang sipil dan seorang yang bersatus militer melakukan suatu kejahatan bersama-sama. Tersangka/terdakwa terdiri dari dua orang atau lebih yang tunduk kepada lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Untuk penyilidikan dilakukan berdasar Pasal 2 SK Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman No.KEP.10/M/XII/1985 .No.KEP.57.ir.09.05 Th.1985 . terdiri dari unsur-unsur (a) Tim Pusat: Penyidik dari Mabes Polri, Penyidik dari PM ABRI pada Pusat PM ABRI, Oditur Militer dari Oditur Jenderal ABRI, dengan tugas melakukan penyidikan apabila perkara dan atau tersangka mempunyai bobot nasional dan atau internasional, dan apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah Hukum Pengadilan Tinggi (b) Dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri: penyidik pada markas komando wilayah kepolisian, markas komando kota besar, markas komando resort dan markas komando sektor, penyidik dari PM ABRI pada Detasemen POM ABRI, dan Oditur Militer dari Oditur Militer dengan tugas (1) dalam daerah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya lebih dari satu Daerah Hukum Pengadilan Negeri, tetapi masih dalam suatu Darah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan (2) dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri, apabila dilakukan tindak pidana Koneksitas atau akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Susuna majelis hakim yang mengadili perkara koneksitas adalah sebagai berikut: (1) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, hakim ketua dari lingkungan peradilan umum, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang, (2) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang (hakim dari peradilan umum diberi pangkat Tituler
Bantuan Hukum. Orang yang dapat memberikan "bantuan hukum'" kepada tersangka/terdakwa disebut Penasehat Hukum (pasal 1:13) atau seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan UU untuk memberikan bantuan hukum. Hak seorang penasehat hukum yaitu menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 69), menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (pasal 70:1), menerima turunan berita acara pemeriksaan (pasal 72), mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya (pasal 73), dan dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan jalan melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terdapat tersangka (pasal 115:1)
Acara Pemeriksaan dalam Sidang Peradilan
Sistem pemeriksaan. Adapun 2 cara sistem pemeriksaan yaitu: (1) Sistem Accusatoir, tersangka/terdakwa diakui sebagai subjek pemeriksaan dan diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pembelaan diri atas tuduhan atau dakwaan yang ditujukan atas dirinya. Dalam sistem ini pemeriksaan terbuka untuk umum (depan sidang pengadilan) (2) Sistem Inquisitoir, tersangka/terdakwa dianggap sebagai obyek pemeriksaan. Dalam sistem ini pemeriksaan tertutup, dan tersangka /terdakwa tidak mempunyai hak untuk membela diri (di depan penyidik). Namun kedua sistem ini mulai ditinggalkan, setelah diterapkan UU No.8/1981 tentang KUHAP, dengan diberinya hak tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum
Exceptie (tangkisan), suatu jawaban yang tidak mengenai pokok perkara. Exceptie sangat penting bagi terdakwa dan penasehat hukum, sebab dengan hal ini suatu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dapat berakibat: dinyatakan batal demi hukum (pasal 143:3), dinyatakan tidak dapat diterima (pasal 143:2 a), perkara dinyatakan sudah nebis in idem, dinyatakan ditolak, pengadilan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena menjadi wewenang pengadilan lain, penuntutan dinyatakan telah daluwarsa, dan pelaku pidana dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan (pasal 14). 2 Jenis exceptie yaitu: (1) exceptie absolut, suatu tangkisan mengenai kompetensi pengadilan. Kompetensi ini menyangkut kompetensi absolut, menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara itu, dan kompetensi relatif, menyangkut wewenang pengadilan mana untuk mengadilinya. Jika tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut, maka perlawanan diajukan menjadi batal. Untuk (b) exceptie relatif hanya dapat diajukan pada sidang pertama, setelah penuntut umum membacakan dakwaannya. Exceptie relatif tidak harus ada putusan sela, tapi ia dapat diperiksa dan diputus bersama pokok perkara. Dua alasan diajukannya exceptie, yaitu: (1) menyangkut kompetensi pengadilan (kompetensi absolut, bahwa perkara tersebut menjadi wewenang pengadilan lain yang tidak sejenis untuk memutuskan, dan atau kompetensi relatif, bahwa perkara bukan menjadi wewenang pengadilan negeri tertentu untuk mengadinya, tetapi menjadi wewenang pengadilan negeri yang lain) (2) menyangkut syarat pembuatan surat dakwaan; (a) syarat formil (pasal 143:2a) tidak diberi tanggal, tidak ditandatangi oleh penuntut umum, dan tidak memuat identitas terdakwa secara lengkap, (b) syarat materil (pasal 145:2b) surat dakwaan tidak memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tidak pidana yang didakwakan, surat dakwaan yang tidak memuat waktu (tempos delictei), tempat (locus delictie) tindak pidana itu dilakukan
Pembuktian, bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 4 teori pembuktian, yakni (1) teori pembuktian positif, bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan), (2) teori pembuktian negatif, bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam UU ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti, (3) teori pembuktian bebas, bahwa mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, namun tidak ditentukan dalam UU, dan (4) teori pembuktian berdasarkan keyakinan, bahwa hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusannya tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Alat-alat bukti yang sah, apabila ada hubungan dengan suatu tindak pidana, menurut pasal 184:1, alat bukti yang sah: (1) keterangan saksi (pasal 1:27), keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia saksi dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (tidak termasuk keterangan diperoleh dari orang lain/testimonium de auditu), dengan 2 syarat: syarat formil, apabila keterangan tersebut diberikan oleh saksi di bawah sumpah, sedangkan syarat materil, bahwa ketarangan saksi, hanya salah satu dari alat bukti yang sah, serta terlepas dari hal mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 168), bahwa yang tidak didegar keterangannya adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa, saudara dari terdakwa atau yang sama-sama terdakwa, dan suami atau istri terdakwa, walaupun telah bercerai. 2 jenis saksi: (a) saksi A Charge (memberatkan terdakwa), saksi yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, (b) saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa), saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa. (2) Keterangan ahli (pasal 1:28), keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan. (3) Surat (pasal 187). (4) Petunjuk (pasal 189), perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk ditentukan oleh hakim. (5) Keterangan terdakwa (pasal 189), apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
Requisitoir penuntut umum, surat yang dibuat oleh penuntut umum setelah pemeriksaan selesai dan kemudian dibacakan dan diserahkan kepada hakim dan terdakwa atau penasehat hukum. Isi requisitoir (surat tutntutan umum) adalah: (1) identitas terdakwa, (2) isi dakwaan, (3) fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, seperti: keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat bukti, visum et repertum, dan fakta-fakta juridis, (4) pembahasan juridis, (50 hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, (6) tuntutan hukum, dan (7) surat tuntutan yang telah diberi nomor , tanggal, dan tanda tangan penuntut umum
Pledooi (nota pembelaan) (pasal 182:1b), pidato pembelaan yang diucapkan oleh terdakwa maupun penasehat hukum yang berisikan tangkisan terhadap tuntutan penuntut umum dan mengguakan hal-hal yang meringankan dan kebenaran dirinya. Isi pledooi pada dasarnya, terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) karena tidak terbukti, terdakwa supaya dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslag van rechtsvervolging) karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindakan pidan dan atau terdakwa minta dihukum yang seringan-ringannya, karena telah terbukti melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya
Contempt of court, suatu tindakan merendahkan martabat pengadilan. Jenis contempt of court: (1) direct contempt of court, tindakan penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang hadir dan menyaksikan secara langsung sidang pengadilan, (2) construjtive contempt of court, tindakan yang dilakukan tidak di dalam ruang sidang pengadilan
Upaya Hukum
Upaya hukum (pasal 1:12), hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU. Dua upaya yang dapat ditempuh: (1) upaya hukum biasa: (a) banding (pasal 67), suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, agar putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi, dengan tujuan memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Permohonan ini dapat dilakukan dalam waktu 7 hari setelah vonnis diberitahukan kepada terdakwa, (b) kasasi, suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari mahkamah agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan terdahulu dan ini merupakan peradilan terakhir. Permohonan ini diajukan dalam kurung waktu 14 hari setelah vonnis dibacakan. Pada pengajuaan kasasi, terdakwa diwajibkan membuat memori kasasi yang diserahkan kepada panitera pengadilan negeri dan untuk itu panitera memberi suarat tanda terima. Alasan kasasi diajukan, karena pengadilan tidak berwenang atau melampau batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (pasal 253:1). (2) upaya hukum luar biasa, (a) kasasi demi kepentingan hukum (pasal 259), semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selaian dari putusan MA, Jaksa Agung, dapat mengajukan satu kali permohonan, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. (b) Herziening, peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 263:1). Peninjauan ini diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Alasan pengajuan (pasal 263:2), apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui sebelum sidang berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan bebas dari segala tuntutan, atau ketentuan lebih ringan (novum), apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.pengadilan ditetapkan. (3) Upaya hukum grasi, wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuma (pasal 14 UUD 1945)

Praperadilan (pasal 1:10)
Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU tentang; sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarga atau pihak lain yang dikuasakan.

Data Pustaka : Prints, Darmawan, SH, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta 1989
Posted by robaga_rgsmitra
Newer Post Older Post Home
HALAMAN LAIN
Istilah Hukum [sehari-hari]
Jasa Advokat RGS & Mitra
Kaedah Yurisprudensi
ke halaman utama RGS & Mitra
pernik-hukum rgsmitra
rgs aikikai
Picture Window template by Josh Peterson. Powered by Blogger.

Istilah Hukum

Blog ini disusun oleh Advokat RGS & Mitra, istilah terhimpun di blog ini bukan kamus, namun hanya istilah yang kami publikasi, semata-mata untuk memudahkan pengertian [pemahaman] terhadap istilah yang sering digunakan dalam praktek hukum.

Internet Protocol Address or Number
Apakah nomor ip atau alamat ip?
Sebuah alamat IP atau alamat IP (protokol internet alamat atau nomor) adalah nomor unik yang menggunakan komputer untuk mengidentifikasi dan berkomunikasi satu sama lain pada jaringan yang menggunakan standar Internet Protocol. Setiap perangkat jaringan yang berpartisipasi (router, komputer, waktu-server, printer, mesin fax internet, dan beberapa telepon) harus memiliki alamat yang unik.

What is a ip number or ip adress?
An IP address or IP number (Internet Protocol Address or Number) is a unique number that computers use in order to identify and communicate with each other on a network that uses the Internet Protocol standard. Any participating network device ( routers, computers, time-servers, printers, internet fax machines, and some telephones ) must have its own unique address.
Referte
Referte adalah jawaban dari pihak tergugat yang berupa menyerahkan seluruhnya kepada kebijaksanaan hakim, tergugat disini tidak membantah dan tidak pula membenarkan isi gugatan.
original jurisdiction
original jurisdiction : Adalah Pengadilan Negeri pada tingkat pertama, merupakan pengadilan negeri menerima surat gugatan, mendamaikan, menerima jawaban gugatan, replik, duplik, memeriksa alat-alat bukti, dan menjatuhkan putusan. Pengadilan tingkat pertama ini disebut juga sebagai pengadilan judex factie karena berurusan dengan fakta-fakta perkara.
appellate jurisdiction
appellate jurisdiction : pengadilan tingkat banding pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua dan terakhir, perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya maupun segi hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.
Contain
contain : masalah isi [pada sebuah situs internet]
Unlawful inadmissible content
unlawful inadmissible content : informasi yang bersifat melawan hukum
Computer crime and abuse
computer crime and abuse : kejahatan dan penyalahgunaan computer
law enforcement
law enforcement : penegakkan hukum
Kegiatan Cyber
Adalah kegiatan virtual [terjadi dalam dunia maya elektronis] yang berdampak sangat nyata, walaupun alat buktinya bersifat elektronik
Cyber Law
Adalah istilah hukum cyber yang diartikan sebagai padanan kata dari cyber law, yang secara internasional digunakan untuk sebagai istilah hukum yang berkaitan erat dengan pemanfaatan Teknologi Informatika. Istilah lain yang digunakan adalah Hukum T.I atau Law of I.T, Hukum Dunia Maya [Virtual World Law] dan Hukum Mayantara.

rgs : Istilah Hukum yang digunakan untuk ruang lingkup ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1997 tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia, untuk pertama kali Indonesia secara resmi telah menggunakan istilah Telematika yang berarti Telekomunikasi, Media dan Informatika.
Ex Aequo Et Bono
memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai kepantasan dan kesesuaian rasa keadilan masyarakat, sehingga hakim tidak tunduk lagi pada undang-undang.
Objectum litis / fundamentum petenti
Objectum litis / fundamentum petenti : Posita / fakta perkara dalam suatu gugatan [perdata]
Justiciabelen
Justiciabelen : orang yang mencari keadilan
Teleconference / telekonferensi
Teleconference adalah sebuah panggilan teleconferensi yaitu suatu metode pertemuan yang digunakan ketika semua, atau beberapa peserta rapat dalam lokasi fisik yang berbeda. Setiap peserta dalam sebuah panggilan teleconference kemungkinan diminta untuk dial-in ke sebuah lokasi sentral, baik yang telah ditetapkan, konferensi bebas pulsa nomor telepon, atau hanya ke nomor di dalam bisnis. Jenis pertemuan teleconference menjadi lebih dan lebih umum sekarang bahwa telecommuting adalah praktek yang populer, dan juga di kalangan bisnis dengan berbagai lokasi nasional atau internasional.

Konferensi jarak jauh atau komunikasi interaktif antara tiga orang atau lebih yang terpisah jauh secara geografis.
Video Conference / video konferensi

Kaitkan dengan Pasal 77 [1] UU-40-2007 : Perseroan Terbatas
Video conferencing adalah suatu teknologi yang mengintegrasikan komunikasi video dan suara untuk menghubungkan pengguna jauh satu sama lain seolah-olah mereka berada di ruangan yang sama. Setiap kebutuhan pengguna komputer, webcam, mikrofon, dan koneksi internet broadband untuk berpartisipasi dalam konferensi video. Pengguna melihat dan mendengar satu sama lain secara realtime.

Video conferencing is a communications technology that integrates video and voice to connect remote users with each other as if they were in the same room. Each user needs a computer, webcam, microphone, and broadband internet connection for participation in video conferencing. Users see and hear each other in realtime, allowing natural conversations not possible with voice-only communications technology.




Bulletin Board System [BBS]
Bulletin Board System : yaitu sistem komputer untuk menyuarakan dan mengumumkan, yang mengizinkan pengguna memuat suatu pengumuman secara serentak. Terdapat beribu BBS di seluruh dunia. BBS Bulletin-board system merupakan juga suatu sistem yang mengizinkan orang membaca setiap pesan orang lain dan menempatkan pesan-pesan yang baru.
Digital Devide
Digital Devide yaitu jurang yang memisahkan antara negara maju dan negara Dunia Ketiga di bidang Teknologi Informatika
Tanda Tangan Elektronik / Tanda Tangan Digital
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi [Pasal 1 (12) UU-ITE]. => Tanda tangan digital [Digital Signature] adalah salah satu implementasi kriptografi dalam bidang keamanan. Tanda tangan digital berguan untuk memastika kevalidan dari suatu pesan yang tertandatangan.
Internet Content Provider
Internet Content Provider [I.C.P.] : adalah penyedia layanan jasa pembuatan halaman Web, penyajian informasi ke portal atau bahkan membuat situs e-Business, hingga membangun jalur pembayaran transaksi dengan pihak perbankan.
Internet Network Provider
Internet Network Provider [I.N.P] : merupakan penyedia layanan jaringan menuju ke Global Internet. Hingga saat ini, di Indonesia hanya terdapat satu INP.
Internet Service Provider

Atau Internet Access Provider [I.A.P] adalah sebuah perusahaan yang menyediakan [menjual] jasa kepada pelanggan, sehingga memungkinkan pelanggan menggunakan internet, termaksud memberikan pelayanan penyediaan perangkat lunak [soft-ware] dan nomor telpon. Seorang pelanggan [klien] dapat memilih dan menggunakan pasword sehingga memungkinkan ia mengakses ke layanan tersebut. ISP biasanya menyediakan sebuah portal yang bisa dilihat oleh pelanggan melalui internet, dimana ISP itu sendiri terhubung satu-sama lain melalui Network Access Point [NAP] ; misalnya CBN.net, Mega.net., Indosat.net.
Internet
Merupakan suatu fasilitas yang memungkinkan komputer untuk dihubungkan atau berhubungan melalui [melintasi] jaringan internasional
Hacking
Adalah suatu tindakan mengakses data computer secara tidak sah
Cybercrime
Suatu tindak pidana dengan menggunakan atau terjadi melalui komunikasi teknologi termaksud internet, telephony dan/atau teknologi nirkabel
Kriptografi / Cryptography
Adalah suatu teknik meng-enkripsi data sehingga data tidak dapat dimengerti
Chat Room
Suatu area / tempat di internet dimana pengguna [user] dapat berkomunikasi dalam waktu yang sama.
kawasan berikat
Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor.
Administrasi Perkara
Rangkaian kegiatan yang dibutuhkan dalam menangani perkara dalam rangka penertiban dokumen data perkara semenjak pendaftaran perkara, persidangan, pengajuan upaya hukum sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan.
Administrasi Pengadilan
Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengadilan untuk menciptakan efisiensi, akurasi dan konsistensi dalam sistim peradilan. Suatu struktur administrasi pengadilan dilakukan dalam rangka menunjang kerja hakim dan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan. Administrasi pengadilan diantaranya meliputi pengawasan terhadap anggaran, penunjukan hakim dalam suatu perkara, menciptakan jadwal persidangan dan mengawasi pekerjaan yang bersifat non-perkara.
Actor sequitur forum rei
Pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (mempunyai alamat, berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak
Actor Rei Forum Sequitur
Penggugat harus menggugat tergugat di pengadilan di tempat tergugat tinggal
Actio in Pauliana
Tuntutan hukum untuk pernyataan batal segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh pihak yang berhutang, yang menyebabkan penagih hutang dirugikan (pasal 1341 KUHPerdata)
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah, dan penghinaan ringan
Acara Pemeriksaan Singkat
Pemeriksaan terhadap perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali perkara pelanggaran lalu lintas
Advokasi
Tindakan untuk mempermasalahkan suatu hal/ide/topik tertentu
Advokat
Orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 18 tahun 2003 ttg advokat
Advokat / pengacara asing
Advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan
Aequo et bono
Suatu istilah yang terdapat pada akhir dokumen hukum dalam peradilan, baik perdata maupun pidana yang prinsipnya menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim pemeriksa perkara. Arti harfiahnya : apabila hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
Ajudikasi/ adjudication
Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan; pengambilan keputusan
Akta
Suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya
Akta Otentik
Akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan ataupun tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat didalamnya; surat yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari
Akta di bawah tangan
Akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat
Akta Notariel
Akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat [Notaris] yang berwenang untuk itu
Alat bukti
Alat yang sudah ditentukan didalam hukum formal, yang dapat digunakan sebagai pembuktian didalam acara persidangan, hal ini berarti diluar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Contoh : didalam hukum pidana, secara formal diatur dalam pasal 184 kuhap
Alat bukti surat
Surat yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
Alibi
Bukti bahwa tersangka berada ditempat lain pada saat perbuatan hukum terjadi
Amnesti
Pernyataan umum (diterbitkan melalui atau dengan undang-undang) yang memuat pencabutan semua akibat pemidanaan dari suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (delik) tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delik-delik tersebut.
Aparatur hukum
Mereka yang memiliki tugas dan fungsi: penyuluhan hukum, penerapan hukum, penegakan hukum, dan pelayanan hukum
Asas Audie et alteram partem
Kedua belah pihak harus didengar
Asas domisili
Status dan kewenangan personal seseorang ditentukan berdasarkan hukum domisili (hukum tempat kediaman permanen) orang itu
Asas droit de suite
Berdasarkan hak suatu kebendaan, seseorang yang berhak terhadap benda itu, mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mempertahankan atau menggugat bendanya dari tangan siapapun juga atau dimanapun benda itu berada.
Asas exceptio non adimpleti contractus
Tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi
Asas in dubio pro reo
Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa
Asas kebebasan berkontrak
Para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :
memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;
tidak dilarang oleh undang-undang;
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;
dilaksanakan dengan itikad baik
Asas kebenaran materiel
Asas untuk mencari kebenaran hakiki berdasarkan fakta-fakta hukum
Asas kepastian hukum
Asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara
Asas lex specialis derogat legi generali
Kalau terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku
Asas lex superior derogat legi inferiori
Kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan
Asas ne bis in idem
Asas yang melarang seseorang untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya untuk kejahatan yang sama
Asas pacta sunt servanda
Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyelenggarakan.
Badan hukum
Suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi
Badan usaha
Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
Berita Acara Pemeriksaan tersangka/saksi
Catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh penyidik/penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/saksi ahli, memuat uraian tindak pidana yang mencakup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas pemeriksa dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa, catatan mengenai akta dan /atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara
Barang bukti/corpus delicti
Barang yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan atau hasil dari suatu kejahatan
Batal demi hukum
Kebatalan yang terjadi berdasarkan undang-undang, berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan dianggap tidak pernah terjadi / tidak pernah ada.
Beban pembuktian terbalik
Beban yang menjadi tanggung jawab pelaku untuk membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
Bebas dari segala dakwaan / Vrijspraak
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
Benda sitaan
Benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan.
Home
Subscribe to: Posts (Atom)
Pengunjung

5.422
Cari istilah..


powered by

index-istilah

acara pemeriksaan singkat
acara pemeriksaan tindak pidana ringan
actio in pauliana
Actor Rei Forum Sequitur
actor sequitur forum rei
administrasi pengadilan
administrasi perkara
adokat/pengacara asing
advokasi
advokat
aequo et bono
ajudikasi
akta
akta dibawah tangan
akta notariel
akta otentik
alat bukti
alat bukti surat
alibi
amnesti
aparatur hukum
appellate jurisdiction
asas Audie et alteram partem
asas domisili
asas droit de suite
asas exceptio non adimpleti contractus
asas in dubio pro reo
asas kebebasan berkontrak
asas kebenaran materiel
asas kepastian hukum
Chat Room
computer crime and abuse
contain
Cyber Law
cybercrime
Ex Aequo Et Bono
hacking
internet
Internet Protocol Address or Number
Internet Service Provider
Justiciabelen
kawasan berikat
kegiatan cyber
Kriptografi
law enforcement
Objectum litis / fundamentum petenti
original jurisdiction
Referte
unlawful inadmissible content
Watermark template by Josh Peterson. Powered by Blogger.

Senin, 05 Juli 2010

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Dalam ketentuan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, disebutkan bahwa:

Pasal 1 angka 1:

"Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU ini"

Pasal 1 angka (13); Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun fsikis;

Pasal 1 angka (15); Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum;

Pasal 1 angka (16); Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergan- tungan.

Pasal 1 angka (17): Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Pasal 54: "Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial";

Pasal 74 ayat (1): Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penye- lesaian secepatnya;

Pasal 74 ayat (2): Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menajlanai hukuman.

Pasal 103 ayat (1) hakim yang memeriksa perkara pecandu Narkotika dapat:

a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

Pasal 112 ayat (1): Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan paling banyak 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

ayat (2): Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Nakotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidanan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 127 ayat (1) Setiap penyalah Guna:

  1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
  2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidanan dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
  3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 127 ayat (2): Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

Pasal 127 ayat (3): Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1);

Huruf a: "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "Narkotika Golongan I" adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;

Huruf b: "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "Narkotika Golongan II" adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan;

Huruf c: "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "Narkotika Golongan III" adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan;

Dilema Peninjauan Kembali oleh Jaksa

Friday, 14 May 2010 09:08

Diterimannya permohonan PK yang diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung memang bukan pertama kalinya terjadi. Kasus pertama dimana PK oleh Jaksa diterima oleh MA yaitu dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Pada kasus tersebut kebetulan yang menjadi ketua Majelis PK juga merupakan Ketua MA pada saat itu, yaitu Soerjono. Pada masa itu reaksi masyarakat cukup keras menolak keputusan MA tersebut. Dua argumentasi pokok yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak kewenangan PK oleh Jaksa, pertama karena dalam Pasal 263 KUHAP secara tegas dinyatakan bahwa yang berhak mengajukan PK adalah Terdakwa atau ahli warisnya. Kedua, pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Dalam kasus Muchtar Pakpahan tersebut sebelumnya Mahkamah Agung telah membebaskan Mucthar Pakpahan, sehingga tidak mungkin PK dapat diajukan oleh Jaksa, karena putusannya pun pada akhirnya tidak boleh melebihi putusan bebas.

Sebelum putusan PK dalam kasus Pollycarpus ini diajukan oleh Jaksa, dapat dikatakan mayoritas ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana dan acara pidana memandang bahwa putusan MA dalam kasus Mochtar Pakpahan merupakan suatu "kesalahan sejarah" yang tidak perlu terjadi lagi, atau dengan kata lain putusan MA yang tidak perlu dijadikan yurisprudensi. Pasca putusan Kasasi yang membebaskan Akbar Tandjung pada tahun 2004 misalnya, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut suka atau tidak suka harus diterima, karena PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan milik kejaksaan. Hal ini dikatakannya dalam menanggapi usulan masyarakat agar Kejaksaan mengajukan PK atas putusan kasasi tersebut.

Namun kondisi seakan berbalik ketika MA dalam putusan Kasasinya menyatakan Polly tidak terbukti melalukan pembunuhan atas Aktivis HAM Munir, dorongan agar Jaksa mengajukan PK justru muncul dari para aktivis HAM. Seakan para aktivis ini yang dulunya dalam kasus Muchtar Pakpahan menolak mentah-mentah dibolehkannya Jaksa mengajukan PK berbalik arah menjadi mendukung kewenangan PK oleh Jaksa. Putusan yang dulu dibencinya kini dijadikan sumber hukum, di dorong untuk menjadi yurisprudensi!

Kasus Munir memang suatu dilema, batu ujian yang (seharusnya) sangat sulit bagi para aktivis khususnya HAM. Jika putusan kasasi diterima mungkin tak akan ada lagi kelanjutan atas misteri kematian Munir, namun jika Jaksa dibolehkan mengajukan PK mungkin hal ini membuka kemungkinan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang lebih luas, seperti yang terjadi dalam kasus Muchtar Pakpahan satu dasawarsa sebelumnya. Sayangnya dilema tersebut seakan tak tercermin, padahal masalah ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat kritis, dua pilihan yang sama-sama buruk. Tak banyak diskusi mengenai apa implikasi-implikasi lanjutan dari masing-masing pilihan tersebut, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk meminimalisir implikasi yang bersifat negatif. Yang terjadi hanyalah perdebatan legalistis semata, karena telah ada 'yurisprudensinya' maka Jaksa dapat mengajukan PK, karena KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa untuk mengajukan PK maka berarti Jaksa tidak dilarang. Tepat seperti pertimbangan MA dalam putusan Muchtar Pakpahan. Entah apakah argumentasi tersebut dibangun untuk menyindir pertimbangan MA sebelas tahun yang lalu atau memang diyakini sebagai suatu kebenaran.

Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
Dalam putusannya MA cukup panjang lebar dalam memberikan pertimbangan mengenai kewenangan PK oleh Jaksa. Total halaman khusus pertimbangan tersebut sebanyak 9 halaman, yang dimulai dari halaman 17 hingga halaman 25 dari 51 halaman seluruhnya. Dalam pertimbangannya tersebut cukup banyak MA mengutip pertimbangan MA sebelumnya dalam kasus Muchtar Pakpahan. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya pertimbangan MA dalam kasus Muchtar Pakpahan merupakan inti dari pertimbangan MA dalam kasus Pollycarpus. Salah satu Dalam pertimbangan di Kasus Muchtar Papkahan MA berpendat:
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;

Pertimbangan di atas dirujuk oleh MA dalam Kasus Pollycarpus, kemudian MA menambahkan (hal. 19-20):
Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang" tidak menjelaskan tentang "siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali" tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan", tidak menjelaskan "tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali" dan terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud "fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana" selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa;

Dari pertimbangan di atas terlihat bahwa MA menganggap bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai siapa yang dimaksud pihak-pihak yang disebutkan dalam pasal 23 UU No. 4/2004. Jika dibaca secara keseluruhan seluruh pertimbangan MA dalam kedua putusan ini, ketidakjelasan pengertian "pihak-pihak yang berkepentingan" merupakan pertanyaan pokok dari masalah ini. Ketidakjelasan tersebut menurut MA terjadi juga pada pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970, "...tidak menjelaskan siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali", begitu pernyataan MA. ...Suatu pertanyaan dan pernyataan yang menggelikan, mengingat penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 sebenarnya telah dengan gamblang menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.

Penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata diajukan oleh pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya juga para ahli waris dari pihak-pihak yang berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.

Apakah mungkin dalam dua kasus ini Majelis Hakim yang sama-sama dipimpin oleh Ketua MA tersebut menggunakan UU yang tidak ada Penjelasannya? Barangkali UU nya UU bajakan yang dibeli dari Pasar Senen. Ius Curia Novit, hakim harus dipandang tahu hukum (tapi belum tentu hakim tahu halaman penjelasannya ada di mana khan?).

Dalam bagian lain selanjutnya MA dalam putusan Pollycarpus mencoba membangun argumentasi bahwa dalam pasal 263 sebenarnya tidak mutlak mengatur bahwa hak untuk mengajukan PK tidak hanya berlaku bagi Terpidana atau Ahli Warisnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 263 ayat 1.

2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan " Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan" tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;

Dari pertimbangan point b di atas terlihat bahwa menurut MA PK tidak mutlak hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya. Pasal 263 ayat 3 secara logis hanya mungkin diajukan oleh Jaksa. Akan tetapi jika dibaca secara keseluruhan bukannya hal ini berarti hak PK oleh Jaksa tersebut khusus apabila yang terjadi memang sesuai dengan pasal 263 ayat 3, yaitu jika terdapat putusan dimana dakwaan telah dinyatakan terbukti namun tidak diikuti pemidanaan? Mengingat pasal 263 ayat 2 a dan b secara logis juga hanya mungkin diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya.

Dari seluruh pertimbangan MA mengenai kewenangan jaksa untuk PK ini sangat terlihat bahwa MA hanya ingin membuktikan bahwa Jaksa dapat mengajukan PK, namun dengan melepaskan konteks dalam hal apa kewenangan tersebut dapat diberikan. Hal ini terlihat dari misalnya ketika MA merujuk pada pasal 248 ayat 3 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang terdapad pada hal. 25 putusan a quo.
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan";

Dalam pasal 248 ayat 3 tersebut memang jelas disebutkan bahwa Oditur (Jaksanya militer) ternyata memiliki kewenangan untuk mengajukan PK dalam perkara pidana militer. Jika dibandingkan dengan pasal 263 ayat 3 KUHAP sangat terlihat kesamaannya dengan pasal 248 ayat 3 ini, kecuali satu kata, yaitu disisipkannya kata 'Óditur' antara frase 'yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap" dan frase "dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali...".

Pasal 263 (3) UU No. 8 Tahun 1981
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Disisipkannya kata Oditur tersebut memang seakan menjadi jawaban atas misteri, untuk siapa sebenarnya alasan PK dalam pasal 263 (3) di atas. Namun apakah serta merta dapat dikatakan bahwa Oditur dalam perkara pidana militer memiliki hak yang sama untuk mengajukan PK sebagaimana halnya Terpidana atau ahli warisnya?

Selengkapnya pasal 248 UU 3/1971 berbunyi demikian:

Pasal 248

(1) Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Dari pasal 248 ayat 1 s/d 3 tersebut terlihat menjadi lebih jelas, bahwa PK pada prinsipnya merupakan hak dari terpidana atau ahli warisnya, kecuali 1 hal, yaitu yang terdapat dalam ayat 3.
Masalah ini akan lebih jelas lagi jika kita lihat bagaimana sejarah pengaturan mengenai PK ini.

Selain perbandingan dengan UU 31/1997 di atas, untuk memperkuat argumentasinya MA juga merujuk pada Statute of International Criminal Court, khususnya pasal 84 yang memang mengatur mengenai Peninjauan Kembali (Revision of Conviction or Sentence). Dalam halaman 25 MA menyatakan:
2. Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan "1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused"s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that.............";

Dalam pertimbangan di atas MA sengaja menggarisbawahi kata "prosecuter", seakan untuk menunjukkan bahwa dalam ICC pun Jaksa memiliki kewenangan untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun tampaknya MA tidak mencoba mengaitkan kata "prosecutor" tersebut dengan empat kata berikutnya "...on the person's behalf". Dengan rumusan pasal 84 ICC tersebut tentunya harus diartikan bahwa kewenangan PK oleh prosecutor tersebut dimungkinkan namun demi kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau merugikan si tepidana.

Sejarah Peraturan Peninjauan Kembali
Dalam peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai PK pertama kali diatur dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam pasal 15.

Pasal 15

Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.

Penjelasan Pasal 15
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.

Setelah diundangkannya UU No. 19/1964 tersebut, tak selang berapa lama keluar UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagai turunan dari UU 19/1964. Dalam UU ini kemudian dipertegas kembali mengenai adanya lembaga Peninjauan Kembali, tak kurang dari 2 pasal yang menyatakan instrumen hukum ini, yaitu pada Pasal 31 dan pasal 52.

Pasal 31

Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.

Pasal 52

Mahkamah Agung mengadili tentang putusan-putusan yang dimohon peninjauan kembali untuk masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.

Dari dua pasal di atas terlihat bahwa pengaturannya masih terlalu minim. Atas kondisi ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 6 Tahun 1967 tentang Permohonan Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara "Request-Civiel. Inti dari SEMA ini adalah menginstruksikan kepada pengadilan-pengadilan untuk tidak menerima permohonan PK, karena hingga saat itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai persyaratan, tata cara dan lain sebagainya. Namun mengingat ternyata cukup banyaknya permohonan yang diajukan ke pengadilan akhirnya dua tahun kemudian MA mencabut SEMA tersebut dan mengatur mengenai persyaratan dan tata cara permohonan PK melalui PERMA No. 1 Tahun 1969 (tanpa judul). PERMA yang terdiri dari 8 pasal ini kemudian yang menjadi kerangka dasar pengaturan mengenai PK selanjutnya, baik PK dalam hukum acara pidana maupun peradilan lainnya.

Khusus mengenai PK dalam perkara pidana diatur dalam pasla 3 dan 4 Perma tersebut. Selengkapnya:

Pasal 3

Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjaunya kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap,atas dasar alasan:
a. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang menyolok;
b. apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan itu dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
c. apabila terdapat keadaan-keadaan baru, sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui pada waktu sidang yang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbuatan yang di tuduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan;
d. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 4

(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung.
(2) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(3) Permohonan harus diajukan secara tertulis,dengan menyebutkan sejelas jelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepanitraan Pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.
(4) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia diperbolehkan menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan tersebut, yang akan memuat catatan tentang permohonan itu.
(5) Ketua Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirim surat permohonan atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung disertai dengan pertimbangannya.
(6) Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.

Dari pasal 3 di atas terlihat bahwa tedapat kesamaan antara pasal tersebut dengan pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981. Berbeda dengan pasal 263 KUHAP dalam Perma ini memang diatur secara tegas bahwa Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan juga untuk mengajukan PK (Pasal 4 ayat 1), namun tanpa menjelaskan dalam hal apa kewenangan tersebut dimungkinkan. Namun Perma ini sendiri ternyata tak berumur lama, karena tiga bulan kemudian MA mengeluarkan SEMA No. 18 Tahun 1969 yang pada intinya menunda pelaksanaan Perma tersebut hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Setahun kemudian UU No. 19/1964 digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali masalah PK dicantumkan dalam UU ini, yaitu dalam pasal 21 (rumusan pasalnya dapat dilihat dibagian sebelumnya). Dalam pasal 21 ini khususnya bagian penjelasan dijelaskan bahwa untuk perkara pidana PK dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya, UU ini juga tidak mengatur secara detil persyaratan dan tata cara permohonan PK tersebut.

Atas terbitnya UU kekuasaan kehakiman yang baru tersebut Mahkamah Agung langsung menerbitkan lagi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971. Perma ini intinya membatalkan berlakunya Perma No. 18/1969. Pembatalan tersebut dikarenakan pada masa itu sedang dibahas rancangan undang-undang yang akan mengatur hukum acara termasuk Peninjauan Kembali, sehingga MA berpandangan bahwa sebaiknya pelaksanaan pemeriksaan PK menunggu terbitnya UU tersebut. Namun hingga tahun 1976 ternyata rancangan undang-undang yang dimaksudkan tak kunjung terbit, hal ini kemudian mendorong MA untuk mencabut Perma No. 1 Tahun 1971 dan memberlakukan kembali Perma No. 18/1969 melalui Perma No. 1 Tahun 1976.

Pada tahun 1980 mengingat ternyata belum terbit juga undang-undang yang akan mengatur hukum acara peninjauan kembali MA berinisiatif untuk mengadakan rapat kerja dengan DPR mengenai masalah ini. Dalam rapat tersebut disepakati untuk sementara pengaturan PK diatur dalam Perma. Untuk itu maka MA menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Dilihat dari pengaturannya Perma ini jauh lebih komperhensif dari Perma sebelumnya, yaitu Perma No. 1/1969. Jika Perma No. 1/1969 hanya mengatur 8 pasal dalam Perma 1/1980 ini terdapat 23 Pasal.

Salah satu perbedaan substansial dari Perma 1/1980 dengan Perma 1/1969 ini adalah dihapuskannya alasan PK karena adanya kekeliruan atau kekhilafan yang menyolok, baik dalam perkara Pidana maupun perkara Perdata.

Pasal 9

(1) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan:
a. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
b. apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
(2) Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 10

(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.

Pasal 16

Apabila terpidana meninggal dunia sebelum diajukan permohonan peninjauan kembali, permohonan tersebut dapat diajukan oleh yang berkepentingan termasuk ahli warisnya atau Jaksa Agung.

Dari cuplikan ketentuan di atas terlihatt bahwa memang Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK, namun tetap tanpa kejelasan untuk alasan yang mana Jaksa Agung dapat mengajukan PK. Jika dilihat dari pasal 9 terkesan bahwa khusus mengenai PK karena adanya novum (ayat 1 b) hak ini hanya dimiliki oleh terpidana dan 'pihak yang berkepentingan', namun jika dikaitkan dengan pasal 16 terlihat bahwa Jaksa Agung memiliki hak juga untuk mengajukan PK atas dasar novum namun demi kepentingan terpidana itu sendiri.

Kesan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan justru demi kepentingan terpidana itu sendiri dapat terlihat juga dari ketentuan lainnya yaitu dalam pasal 11 dan 12. Dalam pasal 11 ini disebutkan bahwa dalam hal permohonan PK diajukan oleh Jaksa Agung maka permohonan tersebut (sekedar) diberitahukan juga kepada terpidana. Namun apabila permohonan diajukan oleh terpidana maka Jaksa Agung memberikan kesimpulan / pendapat atas permohonan tersebut (pasal 12). Tentunya jika Jaksa Agung dapat mengajukan PK yang dapat memberatkan terpidana maka terpidana juga diberikan hak untuk mengajukan pendapat atau kesimpulan atas permohonan dari Jaksa Agung tersebut, namun ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam Perma ini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan semata-mata demi kepentingan terpidana itu sendiri, atau karena alasan sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat 2, yang memang hanya mungkin diajukan oleh Jaksa Agung.

Usia Perma ini ternyata tak berapa lama, karena setahun kemudian akhirnya terbit UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP ini beberapa ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam baik Perma No. 1/1969 maupun 1/1980 menjadi hilang, yaitu kewenangan Jaksa Agung untuk mengajukan PK, termasuk kewenangannya dalam mewakili kepentingan terpidana itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 16 Perma 1/1980. Penghapusan kewenangan Jaksa tersebut juga terlihat dalam definisi Upaya Hukum yang diatur dalam pasal 1 KUHAP, dalam huruf 12 dinyatakan :
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
Namun dengan dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut menyisakan satu soal, siapa yang mungkin untuk mengajukan PK dengan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 3.

Setelah berlakunya KUHAP tesebut MA tidak pernah menerbitkan Perma maupun SEMA yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali khususnya yang mengatur mengenai PK dalam perkara pidana, kecuali Perma No. 1 Tahun 1982. Pemahaman bahwa PK merupakan hak ekslusif dari Terpidana dan Ahli Warisnya kemudian menjadi pemahaman yang umum, hingga akhirnya muncul permohonan PK oleh Jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Permohonan tersebut sangat mengejutkan masyarakat khususnya kelompok aktivis serta komunitas hukum. Berbagai polemik muncul di media-media massa pada saat itu, tak kurang beberapa mantan Hakim Agung pun turut bicara mengenai masalah ini, seperti misalnya Subianto dan Bismar Siregar , mantan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmaja, Anggota DPR, akademisi, dan lain sebagainya. Berbagai unjuk rasa pun terjadi walaupun dalam skala kecil mengingat situasi politik saat itu yang memang tidak memungkinkan demonstrasi secara besar-besaran.

Setahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Oktober 1997 Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Entah apakah UU ini terpengaruh dari kejadian PK dalam kasus Muchtar Pakpahan atau tidak namun kenyataannya dalam ketentuan mengenai PK dalam perkara Pidana Militer seakan terjadi beberapa perbaikan yang lebih jelas. Hal ini terlihat dari disisipkannya kata "oditur" dalam pasal 248 ayat 3 UU 31/1997 , serta dalam pasal 1 huruf 41 a UU ini.
a. dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;

Dengan pengaturan pasal 1 huruf 41 a dan pasal 248 ayat 3 tersebut menjadi jelas, bahwa (setidaknya) dalam peradilan pidana militer, oditur militer memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan PK, namun kewenangan tersebut terbatas apabila "...dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan." (pasal 248 ayat 3).

Pengaturan PK dalam UU 31/1997 di atas seakan menjadi jembatan antara rumusan PK dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 263 s/d 268 dengan Perma-Perma sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Namun demikian dalam UU ini pun ternyata pengaturan mengenai tata cara permohonan tersebut, khususnya apabila Oditur yang mengajukan PK serta bagaimana ketentuan selanjutnya ternyata tidak terjawab juga dalam UU ini. Misalnya, apakah putusan PK berdasarkan alasan pasal 248 (2) ini juga harus mengikuti pasal 251 ayat (2)?

Implikasi Hukum dimungkinkannya PK oleh Jaksa

Mungkin sudah tak terlalu bermanfaat juga untuk mempermasalahkan lagi apakah Jaksa dapat melakukan PK atau tidak, mengingat dalam kenyataannya MA sebagai benteng terakhir peradilan telah menerima PK oleh Jaksa, tidak hanya sekali namun empat kali. Kita hanya bisa berharap putusan-putusan tersebut dijatuhkan dengan pertimbangan yang matang, serta sesuai dengan rasa keadilan. Kini yang perlu difikirkan adalah apa implikasi-implikasi hukum dari diberikannya kewenangan PK oleh Jaksa.

Terdapat setidaknya 3 (tiga) pertanyaan hukum yang muncul sebagai akibat dari dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK dalam konstruksi hukum acara pidana yang ada saat ini. Pertama, jika Jaksa diperbolehkan untuk mengajukan permohonan PK apakah PK oleh Jaksa tersebut menghapuskan hak terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Pasal 268 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1981 menyatakan secara tegas bahwa permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja. Selain KUHAP terdapat dua Undang-undang lainnya yang menyatakan hal yang sama, yaitu UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU No. 14/1985 di pasal 66 ayat 1 dinyatakan Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Sementara dalam UU No. 4/2004 pada pasal 23 ayat 2 dinyatakan "Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali."

Pertanyaan hukum ini sebelumnya juga pernah muncul, yaitu pada kasus Muchtar Pakpahan. Tak lama setelah MA memutuskan permohonan PK oleh Jaksa tersebut Muchtar Pakpahan juga mengajukan permohonan PK atas PK tersebut ke PN Medan. Pada saat itu sempat Panitera PN Medan menolak mendaftarkan permohonan PK tersebut dengan alasan bahwa PK hanya dapat diajukan 1 kali sesuai dengan pasal 268 ayat 3 KUHAP. Namun setelah mendapatkan kritikan akhirnya PN Medan menerima pendaftaran permohonan PK tersebut, entah bagaimana putusan MA pada saat itu, apakah penolakan tersebut dikarenakan atas pasal 268 ayat 3 KUHAP tersebut atau karena masalah lainnya atau mungkin memang tidak pernah ada putusan PK atas PK tersebut dikarenakan Muchtar Pakpahan mendapatkan abolisi sebelum MA mengeluarkan putusannya. Yang jelas akhirnya Muchtar Pakpahan bebas bukan karena putusan MA namun karena pemberian abolisi yang dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie 4 hari setelah menjabat sebagai Presiden menggantikan HM Soeharto.

Dari pertanyaan pertama ini tentunya hanya ada dua jawaban, PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk juga mengajukan PK, atau PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana. Masing-masing jawaban ini dapat dicari landasan hukumnya baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Masing-masing jawaban tersebut akan menimbulkan permasalahan hukum baru. Jika hak tersebut dianggap hilang maka hal ini membuka peluang bagi Jaksa untuk bertindak secara sewenang-wenang. Bagaimana jika kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut dipergunakan semata untuk menghapuskan hak dari terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Untuk menghapuskan hak terpidana ini tentunya akan sangat mudah dilakukan oleh Jaksa, ajukan saja PK dengan alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim (pasal 263 ayat 2 b), hilanglah hak dari terpidana tersebut bahkan jika dikemudian hari ditemukan novum.

Untuk menghindari hal tersebut tentunya kita akan berfikir bahwa PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk mengajukan kasasi, sangatlah tidak adil jika hal tersebut yang dipilih. Namun jika dipandang bahwa hak tersebut tidak hilang, akan timbul pertanyaan baru, apakah PK yang diajukan oleh terpidana menghapuskan kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK? Jika dikatakan bahwa kewenangan PK Jaksa hilang jika upaya hukum tersebut telah dipergunakan sebelumya oleh Terpidana, dimana dasar hukumnya? Seperti juga tafsir MA atas PK oleh Jaksa "...tak ada aturan yang melarang". So, how do we deal with this problem?

Kedua. Jika PK dapat diajukan oleh Jaksa, kapan terpidana akan 'menikmati' hak nya atas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945? Mengingat dalam KUHAP tidak ada batasan waktu kapan PK dapat diajukan, terlebih lagi dalam pasal 264 ayat 3 dinyatakan "Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu" . Akhirnya tentu kepastian bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengungtungkan terpidana tersebut baru akan benar-benar menunggu dari diajukannya PK oleh Jaksa, yang ternyata tak ada batasannya juga sampai kapan Jaksa akan atau tidak akan mengajukan PK. Artinya tak ada kepastian hukum sama sekali. Hal ini tentunya bukan masalah besar jika kita anggap bahwa kepastian hukum bukanlah hak asasi manusia, atau kalau kita anggap bahwa penjahat bukan manusia.

Di sisi lain tentunya sangat janggal jika masalah ini kita kaitkan dengan daluarsa penuntutan maupun daluarsa pemidanaan yang diatur dalam KUHP. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, KUHAP pada dasarnya menempatkan kedudukan Hak PK dalam kedudukan yang sangat istimewa. Hal ini terlihat dengan diberikannya juga hak atas PK tersebut kepada Ahli Waris Terpidana, yang mana berarti hak tersebut tidak hilang bahkan apabila Terpidana telah meninggal dunia. Hal ini secara kontras berbeda dengan kewenangan untuk menuntut yang dimiliki oleh Negara, dimana kewenangan tersebut gugur apabila Tersangka atau Terdakwa meninggal dunia . Dengan gugurnya hak menuntut tersebut maka berarti secara otomatis apabila pun Negara memiliki kewenangan untuk mengajukan PK kewenangan tersebut dapat gugur walaupun kewenangan tersebut belum dipergunakannya.

Selain itu tentunya menjadi janggal juga jika diperbandingkan dengan PK dalam bidang perdata sebagaimana diatur dalam pasal 67 dan 69 UU No. 14 Tahun 1985.

Tentunya kedepan, jika memang dipandang bahwa Jaksa (tetap) dapat mengajukan PK -selain karena alasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 263 ayat 3- harus diatur mengenai batasan waktu bagi Jaksa untuk dapat mengajukan PK, dan aturan ini harus hanya mengikat bagi Jaksa saja. Mengapa hanya mengikat untuk Jaksa? Ya pikir sendirilah.

Pengaturan tenggat waktu khusus untuk PK yang diajukan oleh Jaksa tentunya dapat dilakukan. Ketentuan tenggat waktu yang ada pada PK dalam bidang perdata dapat dijadikan rujukan, kecuali mengenai satu hal, yaitu PK dengan alasan novum. Jika merujuk pada pasal 69 huruf b UU 14/1985 batasan waktu PK karena adanya novum tenggat waktunya adalah 180 hari setelah ditemukannya novum tersebut. Pembatasan yang demikian tentunya kurang tepat jika diletakan dalam konteks pidana, karena tetap tidak akan memberikan kepastian hukum bagi terpidana. Yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan memberikan tenggat waktu sekian lama setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, termasuk juga dalam hal ditemukannya novum. Jadi andaikan diatur tenggat waktu bagi Jaksa untuk mengajukan PK selambat-lambatnya 180 hari setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, andaikata pun di hari ke 181 ditemukan novum yang dapat menghukum terpidana hak jaksa tersebut tetap dinyatakan gugur. Adilkah? Jawaban ini akan mudah dijawab jika kita mengetahui alasan diaturnya daluarsa penuntutan dan pemidanaan.

Ketiga, dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK sebagai upaya hukum luar biasa otomatis akan menghapuskan upaya hukum luar biasa lainnya, yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum yang diatur dalam pasal 259. Instrumen hukum ini merupakan instrumen hukum yang khusus hanya diberikan kepada Jaksa Agung, dimana hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap selain putusan MA. Upaya hukum ini dalam pasal 259 ayat 2 dinyatakan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Maksud dari ayat 2 ini menurut (....) putusan tersebut tidak memiliki akibat hukum, sesuai juga dengan yurisprudensi MA dalam perkara Drs. H. Ghozin Baidowi (Putusan MA No. 186 K/Kr/1979). Jadi walaupun MA menilai bahwa permohonan Jaksa Agung tersebut tepat maka MA hanya dapat memberikan pertimbangan hukum semata tanpa menjatuhkan vonis, karena tujuan dari upaya hukum luar biasa ini adalah semata untuk meluruskan hukumnya saja untuk menjaga kesatuan hukum.

Jika Jaksa dibolehkan untuk mengajukan PK tentunya timbul pertanyaan, untuk apa Jaksa Agung menggunakan upaya hukum luar biasa ini yang pada akhirnya tidak memiliki dampak apapun terhadap terpidana, padahal ada upaya hukum lainnya yang lebih "menguntungkan"? Terlebih upaya hukum yang lebih "menguntungkan" tersebut tak harus diajukan sendiri olehnya cukup oleh anak buahnya. Kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa pada akhirnya akan benar-benar menjadi upaya hukum luar biasa, dalam pengertian luar biasa bodoh jika Jaksa Agung menggunakannya padahal ada upaya hukum lainnya yang jauh lebih "bermanfaat", yaitu PK.

Kesimpulan
Dimungkinkannya PK
oleh jaksa berimplikasi pada diperlukannya beberapa perubahan ketentuan dalam KUHAP. Perubahan-perubahan tersebut diperlukan demi menjaga kepastian hukum serta untuk melindungi hak-hak terpidana.

Setidaknya perubahan tersebut harus mencakup:
1. Kejelasan mengenai apakah PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana atau tidak.
2. Kejelasan apakah jika PK telah diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dapat dilakukan PK lagi oleh jaksa.
3. Diaturnya tenggat waktu permohonan PK oleh jaksa.
4. Kejelasan mengenai siapa yang dapat mengajukan PK yang diatur dalam pasal 263 ayat 3 serta tata caranya, serta
5. Dihapuskannya upaya hukum luar biasa Kasasi Demi Kepentingan Hukum.

Akhir kata saya ingin mengutip tulisan mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang ditulisnya sesaat setelah diterimanya permohonan PK oleh MA dalam kasus Muchtar Pakpahan.
"Sekali lagi, berprasangka baik. Sebutlah satu di antara yang dua "pasti" salah. Tentang siapa yang salah, biarlah sejarah yang akan menentukan alias wallahu'alam bissawab."

Penulis:

Arsil

Wakil Direktur Eksekutif

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)

Puri Imperium Office Plaza Upper Ground Floor. Unit UG 11 & 12

Jl. Kuningan Madya Kav. 5-6 Kuningan Jakarta 12980 Indonesia

Phone: (62-21) 8302088 Fax: (62-21) 83701810

Email: arsil@leip.or.id | http://www.leip.or.id/

Bahan Bacaan

Siregar, Bismar, Sekali Lagi, Soal Peninjauan Kembali Dalam Kasus Muchtar Pakpahan, dimuat di Republika, 27 Februari 1997.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17396&cl=Berita

Sitanggang, Bahtiar. Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu Perkara Pidana. Dimuat di Kompas 3 Februari 1997

Kompas 13 Februari 1997, Peninjauan Kembali yang Menjadi Rebutan.

Suara Pembaruan 25 Februari 1997. PN Medan Akhirnya Mau Menerima Permohonan PK Mukhtar Pakpahan.

Eddy O Hiariej , Kasus Pembunuhan Munir - Menyoal Rencana PK Pollycarpus, http://kompas.com/kompas-cetak/0702/22/opini/3331527.htm.